Mencintai Negeri Indonesia ini tentu tak cukup hanya melalui pesona alam dan kulinernya saja, melainkan juga melalui adat istiadat dan corak budaya yang beraneka rupa. Oleh sebab itu jika jalan-jalan ke pelosok Nusantara, jangan sampai ketinggalan untuk melihat ritual khas yang ada di daerah tersebut, ya. Sebab saking menariknya, tak jarang wisatawan asing khusus datang untuk menyaksikannya.
Nah, jika kawanjo belum tahu ritual atau upacara adat apa saja yang layak dikunjungi, dilihat, dan ditonton sampai habis saat sedang berpelesir, berikut Pigijo berikan 11 upacara adat Indonesia yang bisa masuk dalam itinerary kawanjo. Mulai dari yang indah, seru, bahkan ekstrem sekalipun, semua bisa kawanjo temukan di Bumi Pertiwi ini. Sudah siap untuk terpukau? Here you go!
1. Serentaun (Cigugur, Kuningan)
Bisa ditemukan di desa Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, upacara ini merupakan ritual tahunan yang kerap dilakukan sebagai bentuk rasa syukur masyarakat pada hasil panen yang berlimpah. Oleh sebab itu, di sini akan ada tarian, nyanyian, pawai, bahkan doa-doa untuk memohon kesuburan pada panen selanjutnya dan berterima kasih pada hasil pertanian yang sudah dipanen.
Dua hari sebelum acara puncak, rangkaian ritual diawali dengan aktivitas ngajyak atau menjemput padi yang dilanjutkan dengan upacara menumbuk padi. Biasanya, acara inti dilakukan pada tanggal 22 Ragayung yaitu bulan terakhir dalam perhitungan kalender Sunda. Jika kawanjo ingin melihatnya, Carilah informasi terkait ritual ini atau langsung hubungi kepala desa setempat.
2. Ngaseuk (Ciptagelar, Sukabumi)
Kalau Serentaun dilakukan di akhir masa panen sebagai wujud dari rasa syukur, maka Ngaseuk yang dilakukan didesa Ciptagelar, Sukabumi, Jawa Barat justru dilakukan di awal masa panen. Tradisi tahunan ini diadakan untuk merepresentasikan siklus hidup warga Kasepuhan Ciptagelar yang dimulai dari proses menanam padi.
Pengertian ngaseuk sendiri ialah menanam padi di lahan kering (huma) dengan menggunakan tongkat berujung lancip (aseuk) untuk melubangi tanah yang nantinya akan digunakan sebagai tempat di mana padi akan ditancapkan.
Prosesi Ngaseuk sendiri penuh dengan simbol adat serta kepercayaan masyarakat setempat. Diawali dari kegiatan menanam padi yang baru akan dimulai saat tetua adat (sepuh) yang dikenal dengan ‘Abah dan Emak’ turun ke lahan Huma untuk memimpirn jalannya upacara, sampai pada momen Tutup Nyambut dilakukan di mana artinya seluruh rangkaian acara telah berakhir.
Ritual ini sangat terkenal baik bagi wisatawan asing bahkan lokal saking seru dan ramainya! Terlebih di akhir masa panen. Mereka juga akan menggelar Serentaun layaknya masyarakat Kuningan untuk berterima kasih pada seluruh hasil bumi yang didapat. Sebagai bagian dari filosofi hidup masyarakat petani Jawa Barat, acara ini pun jadi salah satu yang paling ditunggu-tunggu.
3. Tabuik (Padang Pariaman, Sumatera Barat)
Beralih ke masyarakat Minangkabau, tepatnya yang bermukim di daerah pesisir barat, pesta adat Tabuik merupakan pesta adat yang kerap dilakukan oleh urang awak yang berasal dari Pariaman. Diadakan untuk memeringati Hari Asyura, yaitu masa gugurnya Imam Husain, cucu Nabi Muhammad SAW, pesta yang juga ada di Bengkulu ini bisa Kawanjo saksikan setiap tanggal 1 hingga 10 Muharram.
Tabuik sendiri berasal dari bahasa Arab-Melayu yang berarti peti mati dari kayu berhiaskan bunga serta kain warna-warni. Peti ini kemudian diangkat untuk diarak ramai-ramai keliling kampung sebagai tanda penghormatan tertinggi pada sang jenazah. Sedangkan di Pariaman, peti ini diibaratkan keranda berisi jenazah Husein Bin Ali.
Asal katanya adalah tabut. Namun karena dialek orang Padang Pariaman selalu mengganti sesuatu yang berakhiran “t” menjadi “ik”, maka upacara ini disebut tabuik yang punya arti sama yaitu peti. Peti tabuik terbuat dari rotan. Pada bagian bawahnya terdapat seekor burung Buraq berkepala manusia dan di bagian atasnya ada setangkai bunga salapan yang disebut sebagai puncak tabuik.
Sebagai tradisi yang bersifat kolosal karena dilakukan oleh banyak sekali orang mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan, hingga puncak acara, acara ini pun dianggap sebagai keramaian sosial terbesar di wilayah Padang pariaman. Tak hanya warga, tapi juga keterlibatan ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai, hingga anak nagari turut menghiasi acara ini.
Tidak heran bahwa kawanjo wajib lihat keseruan yang ada di acara ini! Sebab selain mengasyikkan untuk ditonton, kawanjo juga bisa memahami unsur-unsur sosial yang ada di Padang Pariaman. Sebuah media sosial paling efektif untuk menampakkan eksistensi para tokoh berpengaruh di daerah setempat adalah ritual ini. Menarik dan ramai sekali!
4. Sekatenan (Yogyakarta, Jawa Tengah)
Jadi salah satu upacara paling ramai se-antero Nusantara, Sekaten merupakan ritual tradisional yang selalu diadakan untuk memeringati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Diselenggarakan secara periodik yaitu dalam rentang waktu satu tahun sekali pada tanggal 5 hingga 11 Rabi’ul Awal (Mulud), upacara ini ditutup pada tangga 12 Rabiul Awal dengan menggelar ritual Garebeg Mulud.
Tradisi turun temurun yang diwariskan Nenek Moyang ini pada awalnya diselenggarakan tiap tahun oleh para raja di Tanah Hindu dalam bentuk selamatan atau pemberian sesajen untuk arwah para leluhur. Namun karena dalam perkembangannya agama Islam mulai masuk, maka ritual ini dijadikan sarana penyebaran agama Islam yang cepat menarik hati rakyat.
Melalui kesenian gamelan, akhirnya misi misionaris pun berhasil karena pada saat itu masyarakat sedang gandrung dengan kesenian Jawa terutama gamelan. Oleh karenanya, untuk memeringati Maulid Nabi Muhammad SAW, sejak itu masyarakat setempat tak lagi merayakannya dengan kesenian rebana melainkan gamelan yang lebih dirasa pas dengan budaya Yogyakarta.
5. Yadnya Kasada (Suku Tengger, Jawa Timur)
Pada hari keempat belas dalam bulan Kasada menurut sistem penanggalan Jawa, suku Tengger kerap mengadakan upacara lempar sesajen seperti sayuran, buah-buahan, hingga hasil ternak berupa uang ke dalam kawah Gunung Bromo. Upacara yang biasa mereka sebut Yadnya Kasada (Kesodo) ini dimaknai sebagai upacara penyucian alam yang dipersembahkan untuk para leluhur.
Berasal dari daerah Gunung Bromo, Ngadisari, upacara ini hanya dilakukan oleh suku Tengger yang beragama Hindu Dharma. Rutin dilakukan tiap tahun tepatnya di Pura Luhur Poten yang memiliki 3 bangunan pemujaan seperti candi, semua yang terlibat dalam ritual ini akan jalan ramai-ramai beriringan menuju kawah sambil membawa sesembahan yang nantinya akan dilemparkan.
Tujuannya apa? Yaitu untuk meminta perlindungan pada Sang Hyang Widhi (leluhur) agar mereka semua terhindar dari musibah dan selalu dihujani keberkahan dan keselamatan. Oleh sebab itu hukum upacara ini adalah WAJIB bagi para pemeluk kepercayaan tersebut. Jika kawanjo ingin lihat, tahun ini Yadnya Kasada jatuh pada tanggal 17 – 18 Juli.
Baca juga: Wajib Tahu Seputar Fakta Menarik Desa Wisata di Indonesia
Lalu, apa yang menjadikannya menarik? Yaitu karena kawanjo bisa lihat langsung bagaimana para pemeluk agama Hindu yang berdiam di area pegunungan Jawa melakukan ritualnya. Berbeda dengan di Bali, suku Tengger masih tercampur dengan cara hidup masyarakat Jawa sehingga agama Hindu mereka pun masih ada unsur kejawen-nya. Jadi upacaranya pun berbeda,
Dilakukan tiap bulan purnama, kawanjo bisa langsung menuju lereng Gunung Bromo saat upacara akan digelar. Bersiaplah melihat arak-arakan yang mungkin belum pernah kawanjp lihat sebelumnya. Sebuah gambaran kemajemukan Negeri yang harus kita hargai sebagai bangsa asli Bumi Pertiwi. Berbeda tempat, berbeda pula cara berdoa meski memeluk agama dan kepercayaan yang sama.
6. Omed-omedan (Denpasar, Bali)
Kalau sebelumnya sudah ada ritual adat yang sarat makna serta filosofi budaya, kini Pigijo akan beralih ke ritual seru dan lucu bertajuk omed-omedan. Kenapa lucu? Karena inti dari acara ini adalah peluk, cium, siram, lalu tarik! Maksudnya? Yup, jadi pemuda dan pemudi Desa Sesetan, Denpasar, Bali, harus saling berpelukan dan berciuman sambil disiram dan ditarik-tarik. Hahaha, seru, kan!
Bukan sembarang tradisi, ritual ini sengaja dilakukan untuk memperkuat rasa asah, asih, dan asuh antar warga khususnya warga Banjar Kaja, Desa Sesetan. Diawali dengan sembahyang bersama di pura dan pementasan Barong Bangkung jantan serta betina, para kelompok peserta pun lekas memasuki pelataran pura setelah acara pembuka selesai dilakukan.
Ada dua kelompok di sini yaitu laki-laki dan perempuan. Mereka dibuat saling berhadapan sambil diiringi alunan musik gamelan. Sesepuh desa pun turut jadi bagian untuk memberi aba-aba pada dua kelompok tersebut untuk mulai saling mendekat. Setelah itu, orang terdepan lah yang akan mulai saling mencium, tarik-menarik, hingga dibasahi sehingga seluruh peserta jadi basah kuyup.
Dilaksanakan setiap satu hari setelah Hari Raya Nyepi, Kawanjo akan sangat menikmati acara ini karena tak hanya seru, tapi juga bisa jadi salah satu tontonan terunik yang ada di Indonesia. Dikenal dengan sebutan Balinese Kissing Festival, omed-omedan sendiri punya makna tarik-menarik. Bagaimana? Tertarik mau lihat?
7. Hanta U’a Pua (Bima, Nusa Tenggara Barat)
Setelah lama hilang, tradisi yang masuk dalam kategori upacara agama Islam nan sakral ini akhirnya kembali diadakan pada tahun 2003. Disebut juga “Sirih Puan” dalam bahasa Melayu yang berarti Tangkai Bunga Telur warna-warni berjumlah 99 sesuai dengan bilangan Asmaul Husna, Upacara ini amat berkaitan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Diadakan selama tujuh hari berturut-turut, kawanjo akan melihat ragam atraksi menarik yang dibawakan oleh masyarakat Mbojo dari Bima. Diawali dengan pawai dari istana Bima yang diikuti oleh seluruh masyarakat istana, penari, dan juga kelompok kesenian, kawanjo akan terkesima dengan rangkaian prosesi yang mungkin belum pernah kawanjo lihat sebagai umat Muslim.
Datanglah pada 12 Rabiul Awal yang jatuh pada tanggal 18 Oktober jika ingin menontonnya. Sebab selain dilakukan untuk menyambut Maulid Nabi, ritual ini juga digelar untuk memberi penghormatan setinggi-tingginya pada para ulama terutama yang mereka yang datang dari Melayu khusus untuk menyebarkan agama Islam di Tanah Bima.
8. Dahau (Kalimantan Tmur)
Sebagai salah satu kelompok suku bangsa yang masih sangat berpegang teguh pada kepercayaan dan tradisinya, masyarakat Dayak yang bermukim di Kalimantan Timur punya ritual khusus yang masih dilakukan hingga saat ini. Dahau namanya. Bersifat sangat sakral sama seperti upacara adat lainnya, ritual ini digelar dalam rangka memberikan nama anak pada bayi yang baru lahir.
Biasanya, ritual dengan rangkaian kegiatan yang cukup padat ini dilakukan oleh para keluarga keturunan bangsawan, keluarga mampu, dan yang dianggap terpandang di wilayah tempat tinggal mereka. Mulai dari acara yang dilakukan selama satu bulan penuh hingga acara puncak yang dilakukan secara besar-besaran, semua terlaksana dengan seksama dan penuh doa.
Sayangnya, ritual ini hanya bisa disaksikan oleh para tamu undangan yang mencakup masyarakat adat dan suku asli Dayak. Tapi jika kawanjo punya kenalan, mungkin akan diperbolehkan masuk untuk jadi bagian dari ritual tersebut. Lalu, menariknya di mana? Jelas pada rangkaian acaranya yang tak banyak orang tahu karena cenderung tertutup untuk umum. Betul, tidak?
9. Ritual Pukul Sapu (Maluku, Nusa Tenggara Timur)
Upacara Ukuwala Mahiate, yang biasa dikenal dengan nama ‘Pukul Sapu’ atau ‘Baku Pukul Manyapu’, adalah upacara adat unik yang berasal dari Maluku Tengah tepatnya dari Desa Mamala dan Desa Morella. Diadakan setiap tanggal 7 Syawal dalam kalender Islam, upacara yang diprakarsai oleh tokoh Muslim setempat bernama Imam Tuni ini sudah digelar sejak abad ke XVII.
Esensi upacara adat ini pada dasarnya adalah perayaan keberhasilan pembangunan masjid yang selesai didirikan pada tanggal 7 Syawal setelah Hari Raya Idul Fitri. Selain itu, tradisi ini juga turut dikaitkan dengan sejarah masyarakat setempat yang mengisahkan perjuangan Kapiten Tulukabessy beserta pasukannya pada masa penjajahan Porotugis dan VOC pada abad ke-16.
Intinya, perjuangan mereka kalah. Oleh karenanya, untuk menandai kekalahan tersebut, pasukan Tulukabessy mengambil lidi enau yang kemudian digunakan untuk saling cambuk satu sama lain hingga berdarah-darah. Namun kini, tradisi ini telah dimaknai sebagai ritual pengerat tali persaudaraan warga di Desa Mamala dan Morella.
Secara keseluruhan, upacara adat berupa tarian ini dilakukan oleh 40 orang pria yang dibagi menjadi 2 kelompok berisikan 20 orang. Semua harus pakai ikat kepala agar telinganya terhindar dari sabetan lidi enau sepanjang 1,5 meter yang hanya boleh diarahkan ke bagian dada hingga perut. Oh, iya! jauh-jauh juga, ya kalau nonton. Jika terlalu dekat takutnya nanti kena sabet! Hehehe.
Baca juga: 6 Rekomendasi Desa Wisata Paling Cantik di Indonesia Timur
10. Bakar Batu (Papua)
Upacara ini nampaknya cukup familiar di telinga kita. Karena memang sering dinarasikan dalam bentuk lisan, tulisan, maupun liputan berita, maka bakar batu merupakan salah satu upacara adat yang wajib kawanjo kunjungi saat sedang bertandang ke Papua khususnya ke daerah pegunungan seperti Lembah Baliem, Paniai, Nabire, Pegunungan Tengah, hingga Jayawijaya.
Digelar sebagai simbol kebersamaan. Sesuai dengan namanya, masyarakat yang tinggal dalam satu area akan berkumpul bersama untuk mengolah makanan dengan cara dipanggang menggunakan batu yang telah dibakar hingga sangat panas. Dulu, tradisi ini dikenal dengan sebutan ‘pesta babi’ karena mayoritas yang dipanggang adalah daging babi. Namun kini tidak lagi.
Ada ayam atau daging sapi yang dipanggang khusus untuk para wisatawan beragama Islam. Hal ini pun cukup menggambarkan toleransi kental yang sudah jadi bagian dalam hidup masyarakat Papua bertahun lamanya.
Dalam prosesnya, batu dibakar hingga panas membara, kemudian ditumpuk di atas makanan yang akan dimasak. Namun di masing-masing tempat atau suku, tradisi ini punya nama yang berbeda. Masyarakat Paniai menyebutnya Gapiia, orang Wamena menyebutnya Kit Oba Isogoa, dan penduduk Jayawijaya menamakannya Barapen. Berbeda nama tapi sama upacaranya!
Diselenggarakan guna mengumpulkan sanak saudara dan kerabat, bersyukur, bersilaturahmi, menyambut kebahagiaan dalam urusan pernikahan, penobatan kepala suku, atau kelahiran anak, Bakar Batu juga dilakukan guna mengumpulkan prajurit untuk berperang. Kawanjo harus saksikan sendiri. Karena tak hanya seru, panorama yang mengitarinya juga luar biasa indah!
11. Misa Lefa (Lamalera, Nusa Tenggara Timur)
Lamalera amat dikenal dengan tradisi berburu pausnya. Namun yang perlu diluruskan, paus yang mereka buru adalah paus pilihan dan dalam jumlah yang sangat sedikit. Kenapa mereka berburu paus? Karena sumber makanan di daerah ini sedikit sekali. Tanahnya terlalu kering untuk ditanami sehingga untuk dapat sayur mayur sulit dan digunakan untuk beternak pun tidaklah mudah.
Oleh sebab itu paus jadi jalan keluar untuk bertahan hidup. Kenapa tidak ikan yang lain? Karena seekor paus saja bisa memberi makan satu kampung tanpa perlu melakukan penangkapan berkali-kali dan setiap hari. Daging paus yang telah ditangkap segera dipotong, dicuci bersih, dibagikan pada seluruh warga, diberi garam, dan dikeringkan agar dapat disimpan berbulan-bulan.
Sistem berburu dan mengumpulkan makanan yang bersatu padu pada sistem pengawetan alami yang bisa kawanjo pelajari saat berada di sana. Cara menangkapnya pun tak sembarangan. Karena bukan untuk keperluan komersil, maka penangkapan dilakukan dengan meminta pertolongan pada leluhur agar segala proses dimudahkan. Ada doa-doanya.
Alat yang digunakan sangat tradisional. Kapalnya pun tak sebesar kapal nelayan profesional. Kru pendayung dan penangkap harus betul-betul terlatih. Oleh sebab itu ritual ini tak bisa disamakan dengan whale killing dalam jumlah besar yang dapat mengancam eksistensi paus. Tak mungkin mereka melakukan itu. Karena artinya mereka akan mengancam sumber penghidupannya sendiri.
Lalu apa itu upacara Misa Lefa? Nah, upacara ini merupakan upacara pembuka berisi doa-doa yang dilakukan untuk memulai musim penangkapan paus yang biasanya dihelat tiap awal bulan Mei. Semua warga berkumpul di pinggir pantai tempat di mana perahu perburuan diparkir untuk menyaksikan sejumlah pemuka agama memberkati prosesi penangkapan paus untuk 6 bulan lamanya.
Kenapa lama sekali? Karena kemunculannya tak dapat diprediksi. Jadi dalam tenggat 6 bulan itu belum tentu paus akan muncul terus. Kadang hanya sesekali saja dan para nelayan serta warga harus selalu jeli. Oleh karenanya jika dihitung presentasenya, kegagalan lebih sering dihadapi dibandingkan keberhasilannya.
Jika ingin menonton, Pigijo sarankan tonton saja Misa Lefa ini. Sebab jika ingin melihat proses perburuan paus (Lefa Nuang), mungkin kawanjo akan kecewa karena entah kapan para paus ini berhasil ditangkap. So, sudah ada rencana mau ngetrip kemana? Buruan cek paket wisata serunya di sini.
Baca Juga : 30 Hal Seru yang Harus Kamu Lakukan di Canggu
0 comments on “11 Upacara Adat yang Bakal Bikin Kamu Makin Cinta Indonesia!”