1. Kolak
Sering dibuat dengan berbagai isian mulai dari pisang, labu, hingga durian, kudapan khas bulan Ramadan ini nyatanya punya kisah panjang sampai akhirnya jadi sajian khusus untuk berbuka puasa. Ya, kolak disinyalir berasal dari bahasa Arab ‘Khalik’ yang artinya Tuhan. Namun dari sumber lain, kolak justru dianggap berasal dari bahasa Jawa Kuno ‘Kula’ yang berarti pekumpulan.
Apa yang dimaksud dengan perkumpulan? Dalam satu mangkuk, kolak kerap terdiri dari berbagai isian. Biasa disuguhkan penuh dan tampak berhimpitan antara satu isian dengan isian lainnya, maka hidangan ini jadi tampak bergerombol dalam satu tempat saji. Ini lah salah satu alasan mengapa kuliner manis asal Tanah Jawa ini disebut Kula sampai akhirnya jadi Kolak.
Namun selain itu, sejarah kolak juga sangat erat kaitannya dengan persebaran agama Islam. Why? Karena dulu, makanan ini disebut-sebut sebagai salah satu alat yang digunakan oleh para Wali untuk mengenalkan ajaran Islam ke masyarakat Jawa. Tak heran jika seluruh isi kolak sering dikaitkan dengan filosofi dan cara pandang orang Jawa tentang kehidupan.
Pisang kepok misalnya. Pisang yang banyak digunakan sebagai bahan dasar kolak pisang ini disebutkan berasal dari kata ‘kapok’ yang punya makna jera. Jadi, dengan memakan kolak pisang kepok, siapa pun diharapkan dapat menjauhi perbuatan yang dilarang oleh agama. Hal-hal inilah yang menjadikan kolak pisang amat identik dengan bulan Ramadan.
2. Es Cendol
Sebagai pencuci mulut yang banyak ditemukan di seluruh Asia Tenggara termasuk juga Singapura, Thailand, dan Malaysia, cendol yang selalu disebut-sebut sebagai salah satu hidangan buka puasa favorit ini nyatanya punya lini histori sendiri yang mungkin tak akan kawanjo sangka bisa sampai se-jadul itu. Sebab menurut catatan arkeologi, kudapan ini sudah ada sejak tahun 1323, lho!
Kok bisa? Jadi berdasarkan kisahnya, dulu cendol sering dibuat dalam lingkungan Kerajaan Majapahit. Nah, karena ekspansi mereka besar-besaran sampai ke Singapura, maka cendol pun ikut terbawa bersama leksa (kini lebih dikenal dengan sebutan laksa) yang otomatis mengalami proses akulturasi dengan masyarakat setempat. Jadilah cendol ada di Negeri Singa hingga kini.
Tapi, nama cendol sendiri mungkin belum diberlakukan pada masa Kerajaan Majapahit. Dulu namanya masih ‘dawet’ karena ada di daerah Jawa Timur. Segera ketika ada di Jawa Barat, baru orang setempat menyebutnya cendol karena saat dicetak, bulir hijau tersebut keluar dengan gerakan ‘ndol-ndol‘ dari papan gilasnya.
Jelas Murdijati Gardjito, peneliti dari Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada dalam situs Beritagar tahun 2018 silam. Jadilah namanya cendol. Di Jawa sendiri, minuman ini erat kaitannya dengan prosesi-prosesi adat yang kerap menyajikan cendol sebagai salah satu minuman wajib. Sebut saja saat pernikahan, nujuhbulanan, hingga ragam selamatan lain yang mengasosiasikan cendol sebagai simbol kelancaran atas suatu urusan.
Mengapa? karena saat dicetak ia dapat langsung keluar ke dalam air bak tak ada hambatan apa pun. Namun, pakar kuliner sekaligus juru masak terkemuka, William Wongso, mengatakan bahwa kita tak perlu meributkan dari mana asal cendol yang sesungguhnya karena memang tidak ada bukti sejarah yang benar-benar valid. Cukup tunjukkan bahwa varian cendol Indonesia sangatlah banyak. Jadi meski negara lain juga punya, cendol kita jauh lebih variatif. Itu saja.
3. Bubur Sumsum
Dulu bagi etnis Tionghoa, bubur dipercaya sebagai simbol kemiskinan. Begitu pula dalam masyarakat Jawa. Bubur dianggap sebagai bentuk pemerataan pangan agar banyak orang bisa makan meski sumber pangan (karbohidrat) hanya tersedia sedikit di daerahnya. Oleh sebab itu, masyarakat kita di masa lalu hanya mengonsumsinya pada saat pertanian mengalami gagal panen.
Oleh sebab itu, makanan ini biasanya hanya muncul pada masa paceklik dalam rangka menyelamatkan rakyat dari isu kelaparan. Tak heran bahwa bubur tak pernah ada di meja kalangan bangsawan pada masa lampau melainkan di rumah-rumah rakyat miskin yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
Kembali ke bubur sumsum, bahkan bubur ini tak punya kandungan beras sama sekali melainkan hanya tepung yang dikentalkan dan diberi pemanis agar tak cuma mengenyangkan dan enak untuk dimakan tapi juga memberi kekuatan dari gula yang disiram di atasnya. Sebuah strategi pintar agar tanpa beras pun rakyat tetap bisa makan dan memenuhi kebutuhan energi harian mereka.
Biasa diolah tanpa pewarna tambahan, bubur ini dianggap punya warna yang putih bersih seperti tulang sumsum sehingga diberi nama demikian. Kalau kawanjo menemukan yang berwarna hijau, itu biasanya diberi air rebusan daun pandan atau daun suji. Jadi tampilannya lebih menarik dan aromanya pun lebih wangi. Khusus untuk bulan Ramadan, ia kemudian disajikan dengan biji salak.
Filosofi di balik sajian ini adalah, bubur sumsum selalu diasosiasikan sebagai simbol kesederhanaan dan rasa syukur atas rezeki yang diberikan Tuhan baik dalam keadaan susah maupun senang. Oleh sebab itu, kudapan ini juga kerap muncul di berbagai upacara atau selamatan masyarakat Jawa agar yang punya hajatan selalu dilancarkan rezekinya dan dicukupkan kehidupannya.
Baca juga: Buka Puasa Pakai Takjil Khas Daerah, Coba 5 Menu Ini Dijamin Nagih
4. Biji Salak
Pada dasarnya, biji salak muncul sebagai pelengkap hidangan kolak. Merupakan kreativitas masyarakat masa lalu yang bosan dengan isian kolak yang begitu-begitu saja, maka mereka melengkapi isian kolak yang biasanya hanya terdiri dari potongan ubi dan juga pisang, jadi ada tambahan bulatan kenyal nan manis yang menyerupai biji salak di dalamnya. Rakyat pun mulai menyukainya.
Ada yang bilang biji salak berasal dari Betawi. Tapi ada juga yang menyebutkan ia berasal dari Sumatera Barat dan juga Jawa. Mau dari mana pun, intinya isian pendamping kolak yang dibuat dari olahan ubi jalar yang dicampur tepung tapioka dan kemudian direbus ini sukses bikin banyak orang jatuh hati. Tak heran persebarannya meluas dari Sabang sampai Merauke.
Saat bulan Ramadan, biji salak bahkan tak hanya dijadikan campuran kolak melainkan jadi campuran bubur sumsum atau dijual tersendiri. Menu ini pun selalu ada di hampir tiap pasar takjil yang ada di seluruh Propinsi dari mulai di desa sampai di kota-kota besar. Bak santapan wajib Ramadan dan ikon bulan puasa, biji salak nampaknya tak pernah berhenti diburu oleh umat Muslim.
5. Es Pisang Ijo
Alih-alih bicara sejarah, es pisang ijo justru punya legendanya sendiri yang diangkat dari folklor masyarakat Sulawesi. Tersebutlah kisah seorang raja di masa lalu yang amat berkuasa namun berhati batu dan tak punya rasa welas asih. Raja ini tak segan menghakimi siapa pun yang menentangnya sehingga tak ada satu pun rakyat yang berani untuk tak mematuhi perintahnya.
Lalu satu hari dalam kerajaan, ada seorang juru masak bernama Ijo yang secara tak sengaja menyajikan makanan yang tak disukai oleh sang raja. Raja pun marah besar karena cita rasa yang baru saja dikunyahnya sama sekali tak bisa ia terima. Raja pun memanggil Ijo dan mengatakan akan segera memberi hukuman mati padanya langsung di depan seluruh rakyat.
Ijo tak lekas panik melainkan langsung memberikan penawaran. Ia bilang, berikan ia satu kesempatan terakhir untuk membuatkan satu makanan paling enak untuk sang Raja yang belum pernah ada sebelumnya. Jika Raja tak suka, baru boleh ia dipenggal di depan istana. Raja pun membolehkannya. Baru sejak itu Ijo terpikir untuk membuat suguhan pisang berbalut dadar berwarna hijau.
Dikreasi sedemikian rupa sehingga jadi satu hidangan baru yang istimewa ternyata membuat sang Raja terkejut akan rasanya. Ia seketika jatuh cinta dan sangat menyukai kreasi tersebut sehingga menu baru ini ia beri nama Es Pisang Ijo untuk menghormati Ijo sang juru masak. Tak heran pisang yang digunakan untuk membuatnya pun harus pisang raja. Ternyata inilah asal-usul ceritanya.
Jika sudah jadi cerita rakyat, maka artinya es pisang ijo sudah ada dari jaman dahulu kala. Amat disukai karena punya rasa manis yang khas dan begitu segar jika dimakan pakai es serut yang menggunung dan bubur sumsum nan lembut di sekitarnya, es pisang ijo akhirnya masuk dalam salah satu menu takjil favorit tak hanya di Makassar melainkan di seluruh Indonesia.
6. Selendang Mayang
Kuliner asli Betawi ini disinyalir sudah ada sejak Jaman Belanda. Dulu katanya, orang-orang Belanda sangat suka menikmatinya kala masuk musim panas. Nah, kenapa dinamakan selendang mayang? Karena kombinasi warna potongan tepung hunkwe yang ini dianalogikan mirip dengan warna selendang. Cantik sekali terlebih saat diletakkan di atas es batu. Warnanya jadi makin bersinar.
Lalu kata mayang-nya dari mana? Banyak yang menyebutkan bahwa setelah disiram sirup gula dan santan, potongan hunkwe warna-warni ini jadi makin jelita bak perempuan anggun nan memesona. Perempuan itu pun diasumsikan bernama mayang. Maka selendang mayang merupakan sajian yang dianggap mirip perempuan cantik yang sedang berbalut selendang indah berwarna cerah.
Ada pun yang menyebutkan bahwa nama Mayang dalam es Selendang Mayang diambil dari cerita rakyat Betawi berjudul Si Jampang Mayang Sari. Dalam kisah ini, disebutkan bahwa Si Jampang terpesona luar biasa oleh kecantikan Mayang Sari yang telah bersuami. Saking cantiknya, si Jampang bahkan punya keinginan untuk memilikinya.
Dari kisah ini, masyarakat Betawi kemudian menganalogikan bahwa sesuatu yang cantik itu layak diberi nama Mayang Sari. Oleh karenanya, es selendang mayang pun diberi nama demikian sebagai cerminan kuliner khas Betawi yang punya tampilan anggun dan bercita rasa manis dan menyegarkan. Persis seperti Mayang Sari yang enak dipandang sampai terbawa dalam pikiran.
7. Kurma
Sejak jaman Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam, kurma sudah dipercaya sebagai makanan yang baik dikonsumsi untuk membatalkan puasa. Kenapa? Karena tak hanya kandungan gulanya yang cukup tinggi dan terbukti bisa menggantikan kadar gula dalam tubuh yang hilang selama puasa seharian penuh, kurma juga mengandung serat baik yang bagus untuk pencernaan.
Tak hanya itu, kandungan antioksidannya juga tinggi sehingga sangat baik bagi jantung jika dikonsumsi dalam jumlah yang tepat. Oleh sebab itu, bukan hanya karena buah ini banyak tumbuh di Arab dan disunahkan oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam , tapi juga karena memang kandungan nutrisinya yang amat penting bagi tubuh terutama saat mengalami dehidrasi.
Makan dua tau tiga buah saja cukup. Karena kandungan magnesium, fosfor, potasium, hingga asam folatnya cukup tinggi, maka makan terlalu banyak justru akan memberi efek buruk untuk kawanjo. Satu yang paling dikuatirkan adalah kandungan gulanya yang melingkupi 70-80% dari seluruh buahnya. Jika terlalu banyak dimakan terutama bagi penderita diabetes, tentu akan sangat berbahaya.
Kembali pada sejarahnya, ternyata penemuan fosil buah kurma membuktikan bahwa buah ini sudah ada sejak 50 juta tahun yang lalu. Jadi buah budidaya tertua di dunia sejak 6.000 tahun silam, buah dengan nama ilmiah Phoenix Dactylifera ini disinyalir dulunya tumbuh subur di area Phoenicia yang meliputi kawasan Mediterania Timur (kini termasuk Syria, Turki, Lebanon, dan Israel).
Lucunya, salah satu jenis kurma yang paling difavoritkan yaitu Kurma Medjool, tak hanya ditemukan tumbuh di Timur Tengah melainkan juga di regional Afrika Utara. Saking panas wilayah dan saking kering pula tanah serta cuacanya, maka kurma ini jenis ini tumbuh paling besar, tebal, dan paling manis dibandingakan jenis lainnya. Menarik, ya!
Baca juga: 5 Rekomendasi Aplikasi Kuliner untuk Cari Hidangan Buka Puasa Lezat
8. Kicak
Kue asal Yogyakarta yang dinyatakan sudah ada dari tahun 1980-an ini memang kerap difavoritkan sebagai menu buka puasa. Punya rasa gurih dari kelapa parut dan kuah santan yang berpadu seimbang dengan rasa manis legit dari potongan buah nangka, gula merah, dan beras ketan, membuat kue berbahan dasar ketan tumbuk ini jadi unik hingga selalu diburu oleh para penikmatnya.
Asalnya sendiri yaitu dari Kampung Kauman yang letaknya tak jauh dari Alun-Alun Utara Yogyakarta. Dulu, menurut kisah warga setempat, ada seorang warga bernama Mbah Wono yang membuat makanan ini untuk pertama kali. Saat dijual harian, menu ini ternyata tak terlalu diminati. Padahal proses membuatnya cukup makan waktu sehingga dirasa tak cukup menguntungkan.
Sejak itu, Mbah Wono mencoba untuk menjualnya hanya pada saat bulan Ramadan saja. Ternyata orang lebih suka! Kicak mulai dirindukan dan terus dicari sebagai takjil. Bahkan pada tahun 1995, ketika Kampung Kauman mulai mengadakan pasar takjil, kicak Mbah Wono lah yang paling laku sehingga para pedagang lain mulai membuat kicak namun dengan versi yang berbeda-beda.
Tak heran jika kudapan ini jadi tenar untuk buka puasa dan jadi salah satu ikon takjil masyarakat Jogja. Jika Kawanjo penasaran, maka datanglah langsung ke Pasar Tiban yang ada di daerah Kauman untuk mencicipi kicak asli buatan keluarga Mbah Wono seharga Rp4.000 saja. Mbah Wono sendiri sudah meninggal pada tahun 2014 lalu. Kini usaha kicak diteruskan oleh anak-anaknya.
9. Bubur Kampiun
Bubur khas Sumatera Barat yang isinya terbilang ramai dan mengenyangkan ini sudah lama jadi incaran para umat Muslim untuk membatalkan puasa Ramadan saat bedug Magrib telah tertabuh. Terbuat dari ketan putih yang dikukus, bubur ketan hitam, bubur sumsum, kolak pisang, serta kombinasi kacang hijau dan juga candil, Bubur Kampiun jadi sangat gurih untuk disantap!
Sering dilafalkan ‘bubua kampiun’ oleh masyarakat setempat, bubur ini dikatakan sudah ada sejak tahun ’60-an tepatnya pasca perang Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia 1958-1961. Saat itu, para tokoh adat Bukittinggi ternyata punya agenda khusus untuk menghilangkan trauma rakyat di mana salah satunya adalah dengan menyelenggarakan lomba-lomba yang ceria.
Lomba kreasi bubur salah satunya. Diikuti oleh warga dari berbagai usia, salah satu pesertanya yaitu seorang nenek yang sehari-harinya memang berjualan aneka macam bubur. Karena terlambat, ia pun tak punya waktu lagi untuk membuat bubur baru. Cara tercepat yang ia lakukan adalah mencampur semua bubur jualannya dalam satu piring dan menyiramnya dengan kuah manis.
Tak disangka tak dinyana, ternyata bubur inilah yang jadi pemenangnya! Saat ditanya namanya, nenek bernama Amar Zoni itu pun spontan menjawab ‘bubua kampiun’ atau bubur campur-campur. Sejak itu, bubur kampiun jadi idola banyak orang. Sering dihidangkan saat acara keluarga, acara adat, atau upacara pernikahan, bubur ini kini justru lebih identik sebagai penganan buka puasa.
10. Bongko Kopyor
Berasal dari Kecamatan Manyar, Gresik, Jawa Timur, Bongko Kopyor jadi jajanan buka puasa yang selalu ditunggu-tunggu karena hanya muncul pada saat Bulan Ramadan. Terdiri dari kombinasi bubur, nangka, dan kopyor, hidangan manis yang sekilas nampak seperti bubur sumsum ini berisikan banyak kondimen lezat seperti roti, irisan pisang, daging kelapa muda, hingga bubur mutiara.
Tidak disajikan dalam mangkuk atau piring, bongko kopyor justru dibungkus dengan daun pisang layaknya kue nagasari dan diolah dengan cara dikukus dalam dandang. Lalu karena dalam proses pembuatannya tak menggunakan tepung sama sekali, maka tekstur jajanan ini lebih encer. Tidak padat seperti nagasari meski tampilan luarnya cenderung mirip.
Gimana mulai merasa lapar ya? Biar gak penasaran sih sebaiknya kamu ngetrip sambil kulineran, dijamin seru tuh! Untuk paket wisata menarik bisa langsung cek di sini.
0 comments on “Dari Kolak Sampai Bubur Sumsum, Ini Sejarah 10 Menu Takjil yang Perlu Kamu Ketahui”