Larangan mudik tentu bikin banyak orang jadi panik. Termasuk juga kawanjo, kan. Nah, salah satu destinasi wisata yang pasti ramai tentunya situs purbakala berupa candi atau tempat pemandian putri raja masa lalu. Sebenarnya tak hanya saat Ramadan atau setelah Ramadan saja, sih. Tapi tiap musim liburan atau study tour, kawasan candi pasti selalu ramai oleh pengunjung.
Mengetahui hal ini, sayangnya banyak dari wisatawan yang masih kurang memahami bagaimana sebaiknya menyikapi candi atau situs purbakala lainnya. Masih saja ada yang mencoret, menginjak, merusak, bahkan menghina bangunan-bangunan bersejarah dengan berbagai cara. Jika begitu, lalu, apa saja sih sebetulnya yang harus kita lakukan dan perhatikan saat berada di sana?
Pigijo harap artikel berikut bisa sedikit memberi pencerahan tentang bagaimana sebaiknya kita sebagai penjaga budaya bangsa bisa terus menjaga kelestarian arsitektur masa lalu. Sebab meski masa kejayaannya sudah lewat, seluruh konstruksi sejarah ini masih termasuk dalam warisan kultural dan harta negara yang wajib dijaga. Maka tolong jadi wisatawan yang bertanggung jawab, ya…
1. Menghormati warisan budaya yang rentan rusak
Sebagai pengunjung, kita semua sesungguhnya wajib menghormati warisan budaya yang amat mudah rusak, rubuh, atau bahkan hancur berantakan. Oleh sebab itu, akan sangat bijaksana dan baiknya jika kawanjo tidak menginjak-injak area yang sudah jelas tertulis larangannya, mencuil-cuil batunya, atau bahkan meraba-raba relief yang ada tulisan ‘tak boleh dipegang’ nya.
Sebenarnya aturannya sederhana. Yaitu turuti saja bacaan ‘DILARANG’ yang banyak tertera di berbagai sisi candi atau situs purbakala. Tapi kenyataan yang sering terjadi toh tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Banyak yang tak mengindahkan banhkan mencoret atau mencopot peringatan itu dengan sengaja. Entah apa tujuannya tapi aksi itu jelas sangat merugikan.
Pertanyaannya, kenapa aksi-aksi vandalisme macam itu malah terus dilestarikan? Sebagai generasi muda masa kini yang kritis dan berpikiran global, harusnya kita sudah tak malu lagi untuk saling mengingatkan dan menegur jika ada yang berbuat begitu. Kenapa harus takut dan malu? Ketika negara saja mati-matian menjaganya, kenapa kita justru tak memedulikannya?
Kita dan situs purbakala sama-sama merupakan harta negara yang wajib dijaga. Ketika kita bisa kagum dan berhati-hati saat melihat indahya situs Terracotta Army di China, Angkor Watt di Kamboja, Taj Mahal di India, atau kastil-kastil besar serta gereja-gereja tua nan megah di Eropa, kenapa kita tak bisa lakukan itu pada situs sejarah yang ada di negara kita sendiri? Kenapa harus jadi vandal?
Sedih sekali, lho para arkeolog dan sejarawan yang mati-matian memugar dan melestarikannya untuk mempertahankan sejarah bangsa. Jadi mulai hari ini, jangan jadi wisatawan yang seperti itu, ya. Sebab tanpa aksi pengrusakan pun, secara alami candi-candi, patung, serta bangunan masa lalu akan rusak dengan sendirinya. Inilah mengapa pemugaran dan peremajaan selalu dilakukan.
Baca juga: Tunda Mudik, Berikut 5 Tip Menghibur Diri ke Destinasi Wisata Lokal
2. Menghormati agama
Candi, di manapun berada dan seperti apa pun bentuknya, merupakan rumah ibadah bagi para pemeluk agama tertentu. Bahkan di hari-hari besar mereka, beberapa diantaranya masih digunakan untuk sembahyang. Artinya, tak hanya sebagai peninggalan masa lalu, tapi bangunan-bangunan ini juga masih sakral dan masih pula bersifat ketuhanan. Jadi apakah pantas jika tak dihormati?
Sebagaimana kita yang selalu ingin khusyuk dalam berdoa dan tak ingin diganggu perihal keagamaannya, penganut agama lain pun demikian. Jangan malah ketika mereka sedang ibadah, kita justru memotret-motretnya, berisik di sekitarnya, dan make fun of their sacred activities. Akibatnya, kekhidmatan mereka jadi terganggu oleh ruang profan yang terlalu bising.
Coba dibalik situasinya. Tentu siapa pun termasuk kawanjo tak mau kan jika sedang serius berkomunikasi dengan Tuhan lalu diganggu seperti itu. Oleh karenanya, hormati mereka sebagai umat beragama yang punya keperluan batin seperti kita juga, ya. Karena setiap manusia punya hak untuk berdialog dengan Sang Pencipta apa pun agama dan kepercayaannya. Berbaik budilah kita semua.
3. Menghargai tradisi masyarakat
Sama hal nya dengan menghormati agama yang beragam, kita pun harus menghargai tradisi yang beraneka rupa khususnya yang dilakukan di dalam situs purbakala. Sebut saja tradisi upacara Waisak, Kuningan, Galungan, dan lain sebagainya. Jangan ganggu kegiatan yang pemeluk kepercayaannya sangat mengagungkan upacara tersebut.
Sebab menjaga benda-benda sejarah keagamaan, sama artinya dengan menghormati masyarakat pendukung keyakinan yang bersangkutan. Karena kita tahu ada yang akan menggunakan sebuah situs untuk melakukan ritual agama dan tradisi tertentu yang berhubungan dengan sistem kepercayaan, maka otomatis kita pun turut menghormati adat-istiadat masyarakat tersebut.
Ketika kita hidup bersama dalam keberagaman, satu yang yang wajib dilakukan tentunya toleransi. Dengan tidak menghina perbedaan dan menjunjung tinggi rasa persaudaraan, maka itu sudah cukup untuyk menjadikan bangsa ini kuat menghadapi berbagai tantangan.
Apa hubungannya dengan situs? Tentu ada. Sebab saat kita sulit menerima perbedaan dan tak mudah menghormati tradisi masyarakat, ada kemungkinan kita memang akan merusak tinggalan histori berupa artefak masa lampau yang berhubungan dengan satu kelompok agama tertentu. Please don’t be mean and being too ignorrant. Just don’t. Karena Pancasila tak pernah mencerminkannya.
4. Menyesuaikan perilaku sesuai sifat sakral candi
Seperti juga di Masjid atau Gereja, datanglah dengan berpakaian atau berperilaku sopan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Pakai sarung saat akan masuk ke dalam pura, tidak boleh masuk area situs jika sedang haid, dan lain sebagainya. Hal ini masuk dalam norma tak tertulis yang harusnya bisa dengan sadar dan mudah dipahami oleh semua wisatawan lokal maupun mancanegara.
Karena seperti yang telah disebutkan di atas, sesungguhnya candi, arca, stupa, patung, atau situs-situs purbakala lain yang bentuknya mengerucut ke atas menyerupai tugu sembah, adalah tempat penganut agama Hindu dan Buddha menyampaikan doa-doanya kepada Tuhan. Jadi hargailah sebagaimana kita ingin tempat ibadah kita dihargai orang lain. Jangan berisik dan seenaknya!
Baca juga: Ngetrip di Desa Wisata Catur: Dari Trekking Seru sampai Menelusuri Sejarah
5. Menghormati hak generasi muda untuk menikmati karya nenek moyang di masa lampau
Lalu dari sisi penganut agama yang bersangkutan pun, ada baiknya memberi kesempatan juga bagi generasi muda untuk menikmati karya nenek moyang di masa lalu. Jika mereka sedang berkeliling melihat-lihat situs, jangan diusir atas alasan mengganggu. Jika memang tak bisa ditolerir, boleh mulai diberi peringatan. Tapi jika mereka baik bak saja, hormatilah haknya untuk memahami isu-isu kepurbakalaan.
6. Menjaga kebersihan lingkungan setempat
Terakhir, tidak membuang sampah sembarangan dan tidak juga mengotori area situs secara keseluruhan adalah hal terakhir paling bijaksana yang bisa kawanjo lakukan untuk melakukan penghormatan kecil pada sejarah dan budaya bangsa. Biarkan area wisata bersih dari bungkus-bungkus makanan serta minumanmu. Biarkan situs-situs ini indah layaknya situs penting di Luar Negeri.
Bayangkan kerja keras dan susah payahnya para ahli melakukan penggalian, menyusun kembali bata-bata yang hancur karena terpendam ribuan tahun di bawah tanah, melakukan pemugaran, penelitian, restorasi area, sampai akhirnya berdiri lagi seperti sedia kala hingga bisa dikunjungi untuk belajar tentang sejarah tapi malah dikotori, dirusak, dan disepelekan. Pilu sekali, bukan?
Karena kalau bukan kita, siapa lagi yang akan menjaganya? Negara melalui arkeolog, sejarawan, arsitek, ilmuwan, sosiolog sampai fotografer sudah susah payah menjaganya untuk anak dan cucu kita. Kini giliran kita lah yang menjaganya untuk Ibu Pertiwi sebagai warisan bangsa yang kaya akan cerita peradaban lama.
Untuk berburu dan mengetahui paket wisata menarik, kamu bisa cek di sini. Siapa tahu ada yang sesuai dan masuk dengan budgetmu. Jika cocok, langsung deh terbang kawanjo!
Baca Juga : 7 Alasan untuk Kembali ke Banyuwangi
0 comments on “6 Etika Wisata ke Candi atau Situs Purbakala yang Harus Dipahami”