Hai, kawanjo! Tentu kawanjo tak asing, ya dengan istilah ‘spot Instagramable‘ pada sebuah destinasi wisata. Tak hanya pada destinasi gunung, pantai, dan juga padang rumput yang rupawan, spot bangunan mungil seperti kafe, toko buku, pasar swalayan kekinian, bahkan museum bertema modern pun kerap menggunakan kata Instagramable untuk menarik datangnya para pengunjung.
Lalu, apa yang menarik untuk dibahas? Well, mungkin tulisan atau bahasan semacam ini sudah pernah kawanjo baca atau temukan di platform lain. Namun rasanya tak mengapa jika Pigijo coba bahas lagi kali ini. Jadi, mengapa hal ini nampak menarik untuk diangkat kembali? Karena tagline Instagramable dirasa masih membuat kuatir geliat pariwisata di Indonesia.
Maksudnya? Hmmmm.. Oke, mari membahasnya dari sisi quantity over quality.
- Quantity over quality
Ketika pengunjung pada satu destinasi terlalu banyak dan menyerbu spot Instagramable yang digadang-gadang di media sosial dan media konvensional, risiko terbesar adalah rusaknya fasilitas atau spot pada destinasi wisata tersebut. Meski tak semua berakhir demikian, namun banyak kejadian yang jadi buktinya. Masih ingat rusaknya taman bunga di Gunung Kidul?
Dari kejadian Taman Bunga di Gunung Kidul itu, sebenarnya banyak pelajaran yang bisa diambil bahwa destinasi wisata bukanlah sekedar ‘spot instagramable‘ yang seakan-akan dapat selalu diperlakukan layaknya studio foto. Bagaimana kawanjo dan pengunjung lainnya dapat menjaga dan menghormati keindahan destinasi tersebut adalah kunci utama yang harus selalu dipahami.
Lalu beralih pada pameran karya seniman Yayoi Kusama yang diselenggarakan di Museum Macan pada tahun 2018 silam. Pada eksebisi tersebut, benda yang dipamerkan banyak sekali yang rusak akibat tangan-tangan jahil pengunjung yang menjadikan karya seni kontemporer tersebut tak lebih dari sekedar objek foto. Dipegang, disandari, bahkan dipeluk-peluk. Paham esensi karya seni kah?
Tak hanya itu, keindahan alam pun tak luput dari kelakuan oknum-oknum yang hanya peduli dengan foto bagus di feed Instagram atau Facebook. Berapa banyak gunung, danau, bahkan taman nasional yang rusak akibat urusan foto-foto. Berapa banyak destinasi alam yang kotor dan tak indah lagi akibat terlalu banyak yang datang dan mengubah pemandangan aslinya. Sedih? Jelas iya!
Saat jumlah pendatang pada satu tujuan wisata terlalu banyak, maka kualitas destinasi tersebut akan turun. Terlebih jika para pengunjungnya tak meningkatkan kepedulian untuk menjaga apa yang mereka lihat. Ketika destinasi wisata di negara-negara maju tetap indah meski diserbu ribuan pengunjung, maka artinya mereka yang datang mau menjaga keindahannya.
- Ego and ignorance over everything
Tak mengerti apa yang dikejar, entah jumlah likes atau pengakuan orang, tapi kecenderungan untuk meninggikan ego dan ketidakpedulian terhadap sekitar adalah satu hal yang paling mengerikan di era digital seperti sekarang. Semua bak ingin tampil keren dan kelihatan up-to-date di media sosialnya masing-masing sehingga mereka lupa bahwa ada yang perlu dijaga di sekitarnya.
Mereka lupa bahwa sebuah foto saja dapat merusak fasilitas umum bahkan sangat merugikan orang lain. Jika kembali pada kasus rusaknya taman bunga cantik di Gunung Kidul, mereka jelas tak mengindahkan perasaan petani bunga yang menanamnya dari mulai benih sampai tumbuh memesona. Mereka lupa bahwa hidup ini bukan sekedar layar sosial media dan tak juga berhenti di sana.
Tak cuma itu, beberapa waktu lalu sempat juga viral tentang seorang perempuan yang ingin bikin video Tiktok di sudut sereal impor pada sebuah supermarket. Di situ, tampak bahwa ada pelanggan lain yang ingin lewat namun tak ia pedulikan karena sedang asyik bikin konten. Padahal, orang lain itu sudah tampak terganggu akan keberadaannya di tengah jalan. Sebegininyakah kita sekarang?
Baca juga: Pikir Dua Kali Ngetrip Bareng dengan Tipe Orang Berikut Ini
- Where’s your heart, where’s your logic
Tentu semua orang boleh membuat konten. Tapi tolong mulai pikirkan sekitarmu dan tolong mulai hargai apa yang memang harusnya dihargai. Jika memang ingin foto-foto atau bikin video, bikinlah sewajarnya tanpa mengganggu keindahan yang ada apalagi sampai merusaknya. Jika datang ke museum, tolong jaga karya seni atau tinggalan sejarah yang dipamerkan.
Lalu jika sedang berada di alam terbuka dengan keindahan yang luar biasa, nikmatilah saja dengan mata dan hatimu. Jadikan memori dan abadikan seperlunya dalam lensa. Tak usah memegang-megang, mengubah bentuknya, apalagi sampai berakhir destruktif dan membuatnya tak lagi indah. Jika sampai begitu, poinnya apa? Logikanya di mana? dan hatinya terbuat dari apa? ?
Dunia ini bukan hanya tentang kamu melainkan banyak hal termasuk seluruh makhluk hidup yaitu tumbuhan, hewan, dan manusia lainnya. Jadi, tak bisa kita tak memedulikan itu semua hanya untuk foto media sosial. Ingat kenapa taman bunga itu rusak? Bunga-bunga itu diinjak, diduduki, ditiduri, bahkan dipetik. Saat ditegur, seorang pengunjung pun menjawab “Suka-suka gue!”
- Gimmick buatan dan sebuah kekakuan
Terakhir, bahasan yang ingin Pigijo angkat adalah mengenai gimmick buatan pada sejumlah destinasi wisata yang seringkali justru meninggalkan kekakuan. Sudah bagus-bagus pemandangan ngarai, eh ada tulisan besar tepat di titik terindahnya bertuliskan nama ngarai itu. Sudah indah-indah danau di tengah gunung, eh ada tulisan besar tepat di depannya.
Memberi nama pada sebuah titik wisata jelas boleh bahkan sangat disarankan. Tapi tak perlu besar-besar bahkan sampai menutupi pemandangan aslinya. Alasan yang dilontarkan pun selalu sama “kan nanti bagus buat foto-foto jadi tahu kita sedang ada di mana”. Hmmmmm… Ujung-ujungnya foto lagi foto lagi. Ada apa sih dengan foto-foto? Sebegitu pentingnya kah?
Rasanya nama destinasi cukup ditaruh di pinggir point of interest. Besar boleh tapi bukan membentang menutupi panorama. Tak hanya tulisan, bahkan seringkali ada tambahan bangunan berbentuk unik yang memang disiapkan untuk spot Instagramable. Ini yang makin bikin geleng-geleng kepala. Kenapa narasi SPOT INSTAGRAMABLE itu selalu ada di mana-mana? Why why why…?
Sejak itu, semua destinasi seakan berlomba bikin spot Instagramable masing-masing. Mewarnai kampung, membuat tempat wisata dengan bangunan-bangunan mirip di luar negeri, hingga membuat sungai buatan agar mirip di Itali. Sebenarnya bukan tak boleh. Tapi, identitas negara jadi hilang. Kenapa negara maju bisa ramai meski tetap mengedepankan identitas aslinya?
Karena mereka bangga. Karena mereka percaya bahwa keaslian budaya mereka lah yang mendatangkan wisatawan tanpa henti. Lihat Jepang, Korea, China, Kamboja, Nepal, Meksiko, hingga negara-negara di Eropa. Mereka selalu menarik untuk dikunjungi karena budaya dan tradisinya tak bisa kita temukan di tempat lain. Ke-khas-an itu yang bertahun-tahun mereka bangun dan pertahankan.
Nah, kalau gimmick Instagramable yang di Indonesia banyak yang meniru budaya dan identitas negara lain, apa yang akan wistawan mancanegara dapat dari Indonesia? Keindonesiaan yang seperti apa yang akan dipahami sebagai keunikan tersendiri yang cuma ada di sini? Bingung, kan pasti. Paling ujungnya Bali lagi Bali lagi. Jogja lagi Jogja lagi. Begitu saja terus.
Jadi, murni mau jalan-jalan atau foto-foto?
So, nampaknya gimmick Instagramable mulai jadi jebakan dan pertanyaan sendiri untuk para pencinta traveling. Perlukah sebetulnya ‘selling point‘ ini ada? Sebab tanpa gimmick saja, destinasi wisata di Indonesia kerap rusak dan kotor karena kedatangan terlalu banyak pengunjung. Apalagi dengan adanya iming-iming foto Instagram pasti akan jadi bagus. Tentu bakal membludak!
Oleh sebab itu, sebagai pelaku wisata aktif, baiknya benahi dulu cara jalan-jalan dan cara kita menghargai alam dan lingkungan sekitar. Ketika sudah bisa, nampaknya tak perlu lagi mengglorifikasi spot Instagramable pada tiap destinasi sampai sebegitunya karena pada dasarnya foto dimana pun bagus, kok kalau angle dan spot nya memang sudah oke.
Jadi tak perlu effort terlalu berlebihan untuk dapat foto cakep. Justru kadang yang tampak effortless itu lebih enak dilihat, lho. Kan sayang kalau sudah ngerusak lingkungan atau karya seni, eh likes nya cuma sedikit. Yaaahh… Padahal pihak lain sudah dirugikan. Oleh karenanya mulai sekarang jangan begitu lagi, ya. Foto buat Instagram boleh tapi jangan lupa pikirkan sekitar. Oke!
Oh iya jangan lupa untuk selalu update informasi paket wisata menarik di sini ya. Ayo refreshing, tapi ingat, ya tetap waspada dan ikuti protokol kesehatan karena angka persebaran Covid-19 di Indonesia terhitung masih sangat tinggi.
Baca juga: Sandiaga Uno Bakal Jadikan Ubud Lokasi Wisata Edukasi di Bali
0 comments on “Jebakan ‘Gimmick’ Instagramable Pada Destinasi Wisata di Indonesia”