Kurang rasanya jika hanya menikmati Festival Nasional Reog Ponorogo, tanpa mengunjungi Telaga Ngebel Ponorogo. Tempat yang vital dalam peringatan Grebeg Suro 1 Muharram ini selalu dipergunakan untuk lokasi Larungan. Ternyata, mitos beredar bahwa telaga ini berasal dari ulah seorang anak kecil jelmaan naga Baru Klinting.
Bagi masyarakat setempat, Telaga Ngebel bukan hanya tempat wisata Ponorogo. Waduk ini mengambil peran penting dalam tradisi Grebeg Suro yang diadakan secara meriah setiap tahunnya. Di sinilah prosesi Larungan dilaksanakan.
Telaga Ngebel Ponorogo
Tempat wisata terkenal di Ponorogo ini merupakan sebuah waduk yang menampung air dari Sungai Jeram dan Sungai Talun. Dari Sungai, air dialirkan ke waduk menggunakan pipa yang dibuat pada tahun 1920 hingga 1924.
Memiliki luas sekitar 150 hektar dengan kelilingnya yang mencapai 5 km, air dari waduk Ngebel dipergunakan untuk mengairi persawahan seluas 10.000 hektar. Juga dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik melalui sebuah PLTA berkapasitas 2,25 MW. Dulu kedalaman Telaga Ngebel mencapai 59 meter. Namun akibat sedimentasi, sekarang kedalamannya diperkirakan tinggal 20 meter. Terdapat Air Terjun Toyomarto di bagian hulu salah satu sungai.
Telaga Ngebel yang luas memiliki air nan jernih. Dikelilingi pohon-pohon pinus yang tumbuh segar, menampakkan pemandangan yang indah. Tampak damai dan tenang. Pengunjung bisa mengelilingi telaga menggunakan speedboat.
Baca Juga: Monumen Reog Ponorogo Bakal Jadi Patung Tertinggi Melebihi GWK Bali
Lokasi Telaga Ngebel
Berada di kaki Gunung Wilis, Telaga Ngebel terletak pada ketinggian sekitar 730 meter di atas permukaan laut. Pantas jika suhunya sejuk, berkisar antara 20 hingga 26 derajat Celsius.
Adapun alamat lengkapnya berada di Jalan Telaga nomor 3, Dukuh Nglingi, Ngebel, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Jaraknya sekitar 23 kilometer dari pusat kota Ponorogo. Dengan waktu tempuh berkisar dalam 40 menit berkendara.
Legenda Telaga Ngebel
Telaga Ngebel berkaitan erat dengan cerita rakyat tentang seekor ular naga bernama Baru Klinting. Sebenarnya ular naga tersebut adalah jelmaan dari patih Kerajaan Bantarangin. Patih ini mengubah dirinya menjadi ular naga dengan tujuan bersemedi.
Di waktu yang sama, para warga sedang berburu hewan yang dimasak untuk kenduri. Saat beristirahat, salah satu warga duduk dan menancapkan golok ke akar pohon. Ternyata ada darah yang muncrat. Setelah diamati, bukanlah akar yang terkena golok. Melainkan seekor ular besar. Warga pun segera membunuh dan memasaknya untuk keperluan kenduri.
Di tempat lain, tiba-tiba muncullah anak kecil. Dia meminta makan pada seorang wanita tua bernama Nyi Latung. Nyi Latung pun memberi makan hingga anak tersebut kenyang. Selesai makan, si anak berpesan bila mendengar suara air dan ada orang berteriak-teriak, Nyi Latung harus segera naik lesung dan membawa centong nasi.
Kemudian, si anak kecil mendekati kerumunan warga yang sedang kenduri dan menyantap daging ular. Si anak kecil menancapkan lidi dan
menantang para warga. Barangsiapa yang bisa mencabut lidi, maka si anak kecil akan kalah. Namun jika tidak ada yang bisa mencabut, si anak kecil boleh minta makan.
Terlihat mudah, ternyata sebaliknya. Tidak ada satupun warga yang bisa mencabut lidi tersebut. Hingga kemudian si anak kecil melakukannya dan berhasil! Namun dari lubang bekas lidi tersebut keluarlah air yang deras hingga membanjiri sekeliling. Orang-orang pun ramai berteriak-teriak.
Mendengar keramaian sekaligus aliran air yang keras, Nyi Latung ingat pesan dari anak yang tadi diberinya makan. Dia segera mengambil lesung dan centong nasi. Nyi Latung naik lesung dan menggunakan centong sebagai dayung. Nyi Latung terbawa arus hingga terdampar di batu besar yang kini dinamakan Bale Batur, yang berada di Desa Ngebel. Di tempat ini dapat ditemukan makam Nyi Latung yang masih terjaga dengan baik. Sedangkan lesung yang digunakannya terus hanyut hingga sampai di Kali Kare Madiun. Di sana dapat ditemukan fosil lesung yang dimaksud.
Baca Juga: 5 Tokoh Penari di Festival Reog Ponorogo, Resapi dan Ambil Maknanya
Mitos Telaga Ngebel
Legenda terjadinya Telaga Ngebel memberikan khazanah budaya dalam pengalaman wisata. Tak hanya yang telah disebutkan, ada beberapa mitos yang beredar. Menjadi semacam aturan tidak tertulis yang berlaku bagi siapapun pengunjung Telaga Ngebel.
Seperti dilarang meludah sembarangan di area telaga. Jika dilanggar bisa-bisa tidak selamat sampai pulang ke rumah lagi. Benar atau tidaknya, minimal mitos ini menuntut pengunjung untuk menjaga sikapnya. Sehingga kebersihan dan kelestarian alam di sekitar tetap terjaga.
Karena itulah, Telaga Ngebel menjadi tempat yang sakral. Apalagi adanya patung ikonik ular naga Baru Klinting dan landscape yang tampak tenang serta damai. Memberikan sensasi tersendiri bagi para wisatawan yang datang. Disini pulalah dalam beberapa kesempatan, dilakukan prosesi larungan. Seperti dalam ritual Grebeg Suro Ponorogo. Yuk, kunjungi Telaga Ngebel dan dapatkan pengalaman berwisata yang berbeda.
0 comments on “Benarkah Telaga Ngebel Ponorogo Terbentuk Karena Ulah Naga Baru Klinting? ”