Coba sebut 1 wilayah di Indonesia yang tidak pernah terpikirkan bahwa suatu saat akan kamu kunjungi. Kalau pertanyaan berbalik kepadaku, jawabannya adalah Kalimantan. Entah Barat, Timur, Selatan, ataupun Tenggara. Pertama, karena jaraknya jauh. Kedua, sepertinya tidak ada tempat wisata yang menarik. Ketiga, seperti tidak mungkin saja.
Pikiran ini terus ada di benak sejak aku kecil hingga beranjak dewasa dan takdir berkata lain. Setelah lulus kuliah, aku bekerja sebagai seorang reporter di salah satu stasiun tv nasional. Pekerjaan ini mengharuskanku untuk mengenal tanah airku lebih dalam. Tibalah suatu ketika aku terbang ke sana. Lebih tepatnya Kalimantan Selatan.
Setelah melakukan riset yang terbilang cukup singkat, aku bersama 1 asisten produser dan 1 kamerawan, tiba di bandara. Di sana kami disambut oleh Bang Jani, seorang vendor yang jasanya selalu digunakan kantor ketika tim mengunjungi kotanya. Berempat, kami menuju ke Dusun Kiyu. Pada saat ingin berwisata, destinasi yang sering terbesit dalam benak pasti tempat-tempat yang sudah umum.
Contohnya Bali, Lombok, dan sejenisnya. Jarang kudengar orang menjawab ‘Kalimantan’ saat ditanya mau liburan kemana. But anyways, it wasn’t holiday. Ini adalah perjalanan demi mencari konten yang ternyata berhasil mengubah pandanganku tentang pulau terbesar ketiga di dunia ini.
Setelah berjam-jam perjalanan mobil yang melelahkan, akhirnya kami sampai di rumah Bang Rudi, tempat dimana kami beristirahat untuk 1 malam, sebelum melanjutkan perjalanan esok harinya. Dusun Kiyu yang terletak di ujung Desa Hinas Kiri, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, sudah mulai diselimuti hawa dingin.
Aku tidak menyangka Kalimantan punya wilayah dingin seperti ini. Beda sekali dengan ibu kotanya, Banjarmasin. Rumah orang tua Bang Rudi tidak besar, hanya berupa rumah panggung terbuat dari kayu, dengan 2 kamar tidur dan 1 kamar mandi seadanya di bagian belakang. Aku dan yang lain dipersilahkan untuk tidur di ruang tamu.
Tidak ada karpet seperti di perkotaan. Inilah saatnya sleeping bag beraksi menjadi alas tidur. Setelah mandi, briefing, dan makan malam, kami pun beranjak tidur.
Besok paginya kami pergi ke pasar yang hanya ada 1 kali dalam seminggu. Setelah melihat dan meliput segala kebutuhan warga, kami balik lagi ke rumah Bang Rudi untuk bersiap. Perjalanan kami akan memakan waktu 2 hari dengan berjalan kaki. Ya, kaki adalah satu-satunya kendaraan yang bisa membawa kami ke sana. Desa Juhu. Itulah tujuan kami. Desa tertinggi di Kabupaten Hulu Sungai tengah.
Rombonganku bertambah jadi 15 orang. Beberapa warga memberikan jasanya sebagai porter. Mayoritas dari mereka masih muda dan terlihat kuat. Tapi ada 1 pria berumur, yang dipanggil Kai (kakek). Dia membawa tas carrier-ku yang berat dengan ukuran yang lebih besar dari tubuhnya. Yang lebih mencengangkan lagi, Kai tidak mengenakan alas kaki!
Baca Juga : Menyingkap Cantiknya 17 Danau di Indonesia, Dijamin Kamu Suka!
Mungkin telapaknya sudah sangat bersahabat dengan tanah di rimba sana. Dan meskipun terlihat ringkih, Kai lebih gesit dibanding aku dan senior-seniorku. Padahal kami hanya membawa tas daypack kecil. Perjalanan kami kerap ditemani oleh tanjakan terjal. Medannya bahkan lebih terjal dibanding tanjakan-tanjakan di Semeru.
Kakiku terus kupaksa melangkah. Aku terus melihat Kai yang berjalan seperti tidak membawa beban demi menjaga semangat. Di dalam rombonganku bahkan ada seorang perempuan yang membawa anak balitanya. Tubuhnya tidak kalah kecil dari Kai. Tapi tenaganya pun sama kuat. Dia berjalan sambil menggendong anaknya. Jarang aku lihat ada keringat menetes dari dahinya. Sedangkan wajahku sudah tidak karuan.
Baca Juga : Jelajahi Pedalaman Kalimantan Utara dengan Coba 5 Hal Ekstrem Berikut Ini
Saat jam makan siang, kami berhenti sejenak untuk mengisi perut. Nasi bungkus berisi nasi dan lauk yang sudah tidak lagi hangat terasa sangat nikmat kala itu. Sambil makan, Bang Rudi memberitahu bahwa lokasi kami sekarang adalah persimpangan. Berjalan lurus menuju puncak Gunung Halau Halau, sedangkan belok ke kiri lanjut ke Desa Juhu.
Ternyata banyak pendaki yang mengincar Gunung Halau Halau. Sebagai seseorang yang hobi mendaki, aku jadi merasa ciut karena ketidaktahuanku tentang gunung yang satu ini. Bang Rudi pun bilang peminat paling banyak adalah warga negara asing. Sedangkan pendaki lokal jarang yang berkunjung. Mungkin karena lokasinya yang jauh dan publikasi yang tidak banyak. Aku pun bertekad untuk ke sana suatu hari nanti.
Hutan semakin melebat. Aku bisa mendengar bunyi berbagai jenis binatang yang ada di sekitar. Seperti mendengar musik alam yang paling indah. Bang Rudi bilang, di sini ada banyak Orang Utan. Jika beruntung, dia sering berpapasan dengan mereka. Aku pun berharap bisa melihat langsung salah satu Orang Utan. Tapi binatang yang kutemui justru yang aneh-aneh.
Di sepanjang jalan, aku harus terus waspada dengan pacet. Karena lebat dan lembab, tidak heran pacet betah. Sepertinya mereka punya kerajaan pacet yang dipimpin oleh seorang raja dan ratu. Keadaan ini mengharuskanku untuk terus awas. Lengah sedikit, pasti sudah ada pacet yang menempel di tubuh.
Baca Juga : Bertualang Ke Bromo
Selain pacet, aku melihat satu spesies lagi yang pastinya membuat hampir semua orang merinding. Ular kaki seribu. Berapa centi meter panjang hewan melata ini yang biasa kamu lihat di kota? Coba dikalikan 30. Ya, sepanjang itulah ular kaki seribu di sini.
Oh, bukan hanya panjang. Mereka pun terlihat sangat sehat dan bergizi. Sepanjang perjalanan aku seperti mendapat sambutan dari mereka yang dengan santainya menempel di batang-batang pohon besar. Aku terus berjalan sambil terus berharap mereka tidak akan kehilangan keseimbangan dan akhirnya terjatuh ke atas kepalaku.
Saat matahari sudah tenggelam dan berganti bulan, kami sampai di sebuah pondok. Pondok itu terbuat dari kayu yang dibuat seperti rumah panggung. Hanya saja bagian samping tidak sepenuhnya tertutup. Ini adalah tempat kami bermalam yang juga menjadi penanda bahwa kami sudah setengah jalan. Bagi warga setempat, perjalanan ke Desa Juhu bisa ditempuh dalam 8 jam.
Baca Juga : Key In Jogja (The Beginning)
Tapi karena rombonganku sambil liputan dan kecepatan kami pun tidak kilat, jadi mau tidak mau kami harus bermalam. Setelah menandakan lapak tidur, aku membantu Isnah menyiapkan makan malam. Kami memasak jamur yang dipetik Kai di jalan. Aromanya sontak membuatku tambah lapar. Padahal bumbunya hanya bawang merah, bawang putih, dan garam.
Setelah makanan jadi, kami pun menyantapnya bersama. Nasi putih hangat membuat sajian malam itu jadi tambah nikmat. Suasana pun terasa romantis karena kami makan ditemani cahaya lilin. Mungkin inilah yang disebut candle light dinner yang sebenarnya.
Baca Juga : Jelajah Rasa Kuliner Khas Bromo
Besok harinya, tanpa mendengar bunyi alarm, mataku otomatis terbuka. Isnah mengajakku ke sungai untuk mencuci muka dan gosok gigi. Mandi? Tidak usahlah. Jarak sungai hanya selemparan batu dari pondok. Airnya yang jernih seperti memanjakan mataku. Udara yang dingin juga berhasil membuat perutku kontraksi. Aku pun langsung mencari celah untuk membuang kotoran tubuh.
Mataku awas melihat sekeliling. Setelah kejadian semalam, aku jadi ngeri untuk jongkok. Bagaimana tidak, saat ingin buang air kecil dengan posisi sudah setengah berjongkok, tiba-tiba di depanku ada pacet yang sudah siap loncat. Sontak, aku mengangkat celana lagi dan langsung terbirit kembali ke atas pondok. Sangat tidak lucu jika makhluk kecil itu menempel di bagian vitalku.
Setelah menyelesaikan ritual di sungai, aku dan Isnah kembali ke pondok. Bersama, kami lanjut sarapan daan berkemas.
Baca Juga : Pantai Atau Gunung, Kamu Lebih Suka Ngetrip Kemana Kawanjo?
Perjalanan masih membutuhkan satu hari lagi. Medan semakin berat dan licin. Tidak berapa lama, kami sampai di puncak. Bagian teratas dari gunung menuju Desa Juhu. Di sana kami melakukan ritual memohon izin kepada leluhur dengan cara memasukkan uang seikhlasnya ke dalam sebuah lubang di tanah, dan dahi kami dicoret dengan tanah tersebut.
Dari puncak, kami terus menghadapi jalan menurun. Tidak ada lagi tanjakan yang menguras tenaga. Tapi turunan ini disertai tanah yang licin. Tidak heran, kamerawanku terpeleset yang akhirnya membuatnya harus berjalan ditopang kayu. Beruntung, seniorku yang satu lagi bisa membantu mengoperasikan kamera.
Aku terus berjalan tanpa tahu arah. Mataku hanya fokus ke tanah. Karena juka melihat ke depan, akan sangat terasa jauhnya tujuan. Kaki Bang Rudi, Kai, dan warga lainlah yang menjadi acuanku. Aku yakin, jika tidak menggunakan jasa warga lokal sebagai pemandu, pengunjung luar pasti akan tersasar. Karena hutannya sangat lebat, banyak persimpangan, dan jalurnya tidak jelas.
Baca Juga : It Happened in Machu Picchu
Perjalanan ini mengharuskan kami menyeberangi beberapa sungai. Hanya sungai kecil dengan air yang tidak terlalu deras. Tapi cukup untuk membuat sepatuku basah. Hari beranjak semakin sore, hujan juga turun menemani pergantiannya.Dengan jas hujan melindungi tubuh, kami terus berjalan. Ada satu tanjakan terjal nan licin yang harus kami hadapi.
Ini adalah ujian terakhir dari perjalanan kami. Dengan hati-hati aku melangkah. Tidak jarang, pundak Bang Rudi atau Kai menjadi peganganku agar tidak terjatuh. Tanah merah yang menjadi pijakan seakan tidak ingin dilangkahi. Beruntung, ujian terakhir berhasil kami lewati tanpa ada kendala. Dan di sanalah, sebuah plang kayu sederhana bertuliskan ‘Selamat Datang di Desa Juhu’ menyambut.
Rasa haru membuncah di dalam hatiku. Biasanya aku tidak pernah ingin berfoto dengan plang selamat datang begini, tapi kali ini aku merasa perlu. Karena ini adalah sebuah pencapaian yang membuatku bangga. Tidak banyak yang tahu akan keberadaan Desa Juhu. Dan aku adalah salah satu yang sangat beruntung bisa menapakkan kaki ke sini. Tapi sayang, foto itu entah kemana sekarang.
Juhu adalah sebuah desa kecil yang sangat indah. Hanya sekitar 60 kepala keluarga yang mendiaminya. Rumput hijau alami menyelimuti tanah perkampungan. Sungai kecil mengalir jernih memberikan kehidupan. Oh, betapa kujatuh cinta pada pandangan pertama dengan desa ini. Masih jelas di ingatan bagaimana 3 hari 2 malamku di sana.
Baca Juga : Cinta Desa Wisata : Cerita Indah Sarat Makna
Semua warganya sangat ramah dan membuatku tidak ingin pulang. Ini adalah satu perjalanan yang membuatku sering ke Kalimantan. Ternyata masih banyak wilayahnya yang harus aku kunjungi.Tapi satu janjiku, suatu saat, aku akan ke sana lagi. Desa Juhu, kau sungguh desa yang penuh daya magis, yang menyegarkan jiwaku.
Membawa rohku hinggap di alaminya alammu, yang membuatku mengerti betapa banyak hal yang tidak aku tahu. Juhu, suatu saat, aku akan menyentuh tanahmu, dan merasakan lagi air dari jernihnya sungaimu. Masih banyak cerita dari Desa Juhu. Jika ingin langsung merasakannya, bisa tonton di Youtube dengan judul ‘Indonesiaku – Terpuruk Diatap Meratus’
Baca Juga : Rasa Yang Tak Pernah Hilang
Tentang Penulis :
Dinda Delishan Tahier atau Dinda Tahier, lahir di Jakarta, 29 Maret 1993 merupakan seorang jurnalis Trans 7. Dinda aktif melakukan traveling keliling Indonesia bahkan luar negeri dan juga sangat hobi menulis catatan perjalanan melalui blog pribadinya.
What makes Kalimantan a unique destination for travelers compared to other Indonesian islands?