Hai, Jo.
Selamat siang.
Aku baru saja bangun dari tidur siangku. Setelah capek mengikuti kemah kerenmu di tempat wisata puncak Cianjur.
Baca juga: Program Charity Camp dari Pigijo di Puncak Cianjur
Boleh ya aku bercerita padamu. Sebab aku butuh mengeluarkan ini semua.
All right, terlepas kamu mau atau tidak, eniwei, thanks a lot. Acara charity camp mu sungguh mengesankan. Meskipun beberapa kali nge-trip ke tempat wisata di puncak Cianjur, baru kali ini aku merasakan sensasi istimewa.
Kamu tahu tidak. Ramadhan tahun ini adalah pertama kalinya aku menjalani tanpa mama. Yah, baru juga tiga bulan wanita terkasih itu pergi ke haribaan pertiwi.
Hmmm…
Itu papaku sedang mengaji. Suaranya masih sama, merdu dan syahdu. Tahun lalu masih diselingi suara mama yang memang masih belum fasih membaca Al Qur’an.
Kau tahu, Jo. Mamaku sangat bersemangat belajar membaca Al Qur’an di hari-hari terakhir hidupnya. Sebagaimana beliau bersemangat untuk mempersiapkan bekal setiap aku berangkat jaga di malam hari.
Ahh… Sebenarnya aku ingin beliau mengapitku bersama ayah pekan lalu. Saat ijazah profesiku turun dan mengucap Sumpah Dokter. Inilah persembahanku untuk beliau. Sungguh aku tak kuasa menahan haru saat kuterima map biru itu. Namun demi melihat gurat senyum papa, aku menahannya. Aku tak ingin mengecewakan kekasih mama itu.
Papa lah yang semestinya lebih sedih. Karena kehilangan mama sama dengan lenyaplah separuh nyawa. Namun papa justru yang paling kuat.
Jo, kamu tahu. Inilah penyesalanku. Aku yang sudah menamatkan kuliah kedokteranku, seharusnya bisa memberi pertolongan pertama pada mama. Namun aku harus menempuh waktu tiga puluh menit untuk sampai di ruang ICU tempat mama bertaruh nyawa. Dan, bukannya aku datang langsung bertindak atau minimal membantu rekan dokter di sana, aku justru pingsan! Papa yang kemudian menyadarkanku, memelukku, dan menyampaikan kabar buruk itu!
Papa justru tersenyum, tegar. Aku seperti anak kecil, meraung-raung di ruang ICU. Aku tak rela mama pergi begitu saja. Aku ingat, saat aku hendak berangkat, mama masih baik-baik saja. Beliau merapatkan jaketku. Sedangkan aku sibuk berbincang di telepon, sambil mengunyah sandwich buatan mama.
Sekarang, Jo. Kau tahu. Sandwich adalah makanan yang membuatku mual. Beruntung saat acara kemarin tak ada makanan itu, ya. Dan juga, sampai sebelum aku berangkat ke titik bertemu di tempat wisata Cianjur, ada satu pertanyaan yang sering hinggap di kepala.
Mengapa Tuhan mengambil mama saat aku masih sangat membutuhkannya. Aku belum bosan bercerita tentang pasien-pasienku. Aku juga merasa tak pernah tuntas berdiskusi dengan beliau tentang masa lajangku. Bahkan aku belum sepenuhnya belajar mengenai cara menjadi istri yang baik seperti beliau.
Setiap pulang malam, ketika papa sudah terlelap, aku disergap rindu. Biasanya mama selalu menyambutku. Tapi sekarang tak pernah lagi, Jo. Sungguh aku merindunya.
“Walau hanya sebentar Tuhan tolong kabulkanlah…
Bukannya diri ini tak terima kenyataan…
Hingga beberapa hari lalu, si Nana, sohibku sejak sekolah dasar menghubungi. Dia mengajak, lebih tepatnya memaksa aku untuk ikut camping. Aku sebenarnya enggan. Bagaimana dengan pasien dan klinikku jika aku menghilang beberapa hari?
Hati ini hanya rindu.”
Lagu Hanya Rindu by Andmesh
“Ayolah. Ini terakhir kali sebelum bulan depan aku bersuami. Kita bakal jarang hang out bareng!”
Demi mendengar alasan itu, ajaib! Aku langsung mengiyakan dan meminta asisten untuk membuat pengumuman klinik tutup.
Ahh, andai mama masih ada. Beliau pasti heboh saat tahu Nana si tomboy akan menikah. Andai pula mama tetap ada di sisiku sampai nanti saat aku hendak menikah, kami berdua akan seru-seruan mempersiapkan pesta pernikahanku.
Kenapa ya, Tuhan mengambil mama cepat-cepat? Siapa calon suamiku aja, aku belum tahu.
Hufh.
Eniwei, aku lanjutkan ceritaku tentang camping kemarin ya, Jo. Nana tak menyampaikan apa-apa selain dia juga akan mengajak tiga teman kantornya. Dia tidak bercerita bahwa camping ini istimewa. Dia hanya bilang aku tinggal berangkat saja sambil membawa peralatan camping seperti biasanya kami lakukan.
Ternyata, aku harus mengunjungi sebuah panti asuhan di dekat tempat wisata puncak Cianjur Jawa barat. Di sanalah aku merasa bahwa selama ini aku salah.
Aku telah menyalahkan Tuhan yang mengambil mama di usiaku yang sudah matang. Dimana aku merasa masih selalu membutuhkan beliau, meski sudah dewasa dan bertitel dokter.
Aku menahan tangis saat melihat anak anak kecil itu. Mereka terpaksa tak ber papa mama sejak kecil. Jauh usianya dibandingkan aku sekarang.
Bahkan ada yang sejak lahir tidak pernah berkesempatan melihat ibunya.
Apakah mereka tak pernah protes pada Tuhan? Hmm… Sepertinya tidak. Mereka semua nampak bahagia. Bukan settingan karena ada donatur saja. Bahkan cerdasnya fikir dan santunnya perilaku nampak dari anak-anak beragam usia itu.
Sedangkan aku?
Aku masih beruntung, punya dua puluh lima tahun yang penuh kasih sayang mama.
Ya Allah, ternyata selama ini aku kurang bersyukur.
Saat petang tiba, ketika Nana memberikan secangkir coklat di malam keakraban, dia mengaku telah menjebakku dengan fenomena bikin baper ini. Kontan aku tak segan membalas perkataan Nana dengan tangisan di pelukannya. Dia memang selalu menjadi sahabat pelipur laraku. Dan aku baru sadar, Nana kan telah kehilangan ibunya sejak duduk di bangku SMA.
“Aku tahu, kehilangan ibu itu sangat berat. Tapi aku jadi paham bahwa tanpa ibu, hidupku masih berjalan. Ada ayah dan adik-adik yang juga menahan duka. Tinggal ayahlah tempatku berbakti. Ibu pun pasti akan lebih bahagia di sana, melihat aku terus berusaha menjadi manusia bermanfaat.” Nana mengusap air mata di pipiku.
Mandalawangi Camp, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, malam itu menjadi saksi bagaimana aku berjanji pada Nana. Untuk segera menghapus lara. Dan menatap masa depan lebih dewasa. Hawa sejuk langit malam nan mempesona, seolah turut memelukku dalam bahagia.
Makasih, Jo. Caramu keren untuk menyadarkan aku. Bahwa sekarang adalah saatnya aku berbakti pada mama dengan cara yang lebih bermutu.
Aku pun jadi punya ide untuk mengajak papa yang sudah lama tak jalan-jalan. Mungkin dua pekan lagi aku akan mengajak beliau berwisata di curug dan telaga di tempat wisata taman nasional Gunung Gede Pangrango itu. Papa pasti senang.
Aku juga akan mengajak sebanyak-banyak orang untuk ikut acara charity camp di Mandalawangi Camp, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Acara pigijo gitu loh! Pastilah keren!
Baca di sini, untuk tahu berbagai program dan paket wisata Pigijo!
Sekali lagi, makasih ya, Jo.
Aku sudahi dulu curhatku.
Aku berencana membuat sandwich untuk buka puasa nanti. Aku tahu, papa pasti rindu makan sandwich.
Aku akan membuat sepenuh hati. Hihihi.
Udah dulu, Jo.
Salam hangat,
-dr. Quensa, S.PA.
Putri tunggal kebanggaan papa dan mama Winarno-
NB: Jo, sebenarnya aku mau nanya nih. Guide kelompokku kemarin siapa ya namanya? Dia keliatan macho tapi kok bisa ya terlihat perhatian sama anak-anak di panti. Kasih tahu dong kontaknya. Hihihi.
0 comments on “Rindu Sandwich Mama (Lagi) Gara-gara Charity Camp Pigijo”