Tak cuma punya efek menghibur, nyatanya film juga punya peran besar dalam meningkatkan ketertarikan kawanjo pada budaya suatu tempat, daerah, atau bahkan negara, lho. Hal ini tentu tak sama dengan efek yang ditimbulkan oleh video-video mukbang di Youtube atau sekedar video perjalanan menyusuri street food di sebuah kota. Sama-sama bikin lapar, namun pengaruh film lebih dari itu.
Sebuah studi mengenai keterkaitan antara film dan pariwisata pernah dilakukan oleh Mijalce Gjorgievski & Sinolicka Melles Trpkova. Di sana mereka menyebutkan bahwa “Both film and tourism are basically industries that offer an opportunity to relive or experience, see and learn novelties through entertainment and pleasure“.
Dalam kutipan di atas, dapat dipahami bahwa kedua industri ini dapat meninggalkan perasaan yang sama saat dinikmati, yaitu mampu memberi dampak relaksasi saat melihatnya dan memberi sebuah pengalaman bahagia dari mata turun ke hati. Sebuah novelti yang bisa menghibur sekaligus memberi kenikmatan pada siapa pun termasuk juga kawanjo.
Nah, kenapa rasanya tiba-tiba artikel ini perlu ditulis? Karena Pigijo ingin industri pariwisata Indonesia bisa bangkit dengan dukungan dan kreativitas dari para sineas untuk mengenalkan budaya Nusantara melalui motion picture. Bukan hanya dari foto, tulisan, atau video-video singkat ala promosi tourism, melainkan dalam satu narasi penuh yang disuguhkan dalam bentuk film.
Masih ingat bagaimana negara seperti Korea, Jepang, dan Amerika berhasil mendatangkan banyak wisatawan ke tanah mereka? Masih ingat bagaimana perasaan kawanjo saat nonton film seperti Start Up, Midnight Diner, Chef, dan lain sebagainya? Ingat deret makanan yang terpampang di film-film itu? Bikin Kawanjo ingin datang langsung ke sana untuk menyicipinya, kan?
That’s what we need to learn! How to make people in this world come, see, and enjoy our country. So, Pigijo tiba-tiba merasa perlu untuk membahas hal ini. Mungkin cukup panjang namun Pigijo janji artikel ini takkan membosankan. Karena ada banyak hal yang akan kita pahami sama-sama, yaitu bagaimana sebuah industri hiburan dan pariwisata bisa jalan beriringan dalam konsep yang matang dan menyenangkan. Here comes the writing and hope you enjoy it ??
- Antara tteok-bokki, Korean BBQ, Hanbok, dan sendok Korea
Jika boleh jujur, ide penulisan artikel ini Pigijo dapatkan saat sedang nonton Hometown Cha-Cha-Cha episode 7. Yup, waktu kepala Hong sedang makan di Hwajeong Raw Fish Restaurant dengan seluruh kru TV yang dibawa oleh Seong-hyun. Di sini, pemilik restoran yaitu Hwa-jung membawakan sashimi dari ikan langka bernama jeonbok-chi yang ternyata saat dicoba sangatlah lezat.
Hwa-jung pun menerangkan bahwa ikan tersebut hidup alami dan tak bisa dibudidayakan. Oleh karenanya, kemunculannya amat jarang. Lalu, kamera langsung mengganti arah pengambilan gambar ke tumpukan irisan sashimi segar yang ada di hadapan mereka. Memerlihatkan mencelupkannya ke dalam kecap asin secara perlahan, lalu memasukkannya ke dalam mulut.
Dari sini, sedikit banyak film ini memberitahu kawanjo bahwa ada jenis ikan langka yang sangat enak di sebuah kampung nelayan Korea. Bagaimana cara menikmatinya dan mengapa ia jarang diketahui oleh masyarakat setempat sekalipun. Tak cuma itu, tiap momen makan pun selalu ditampilkan dengan sederhana namun dengan angle apik dan menggiurkan sehingga muncul rasa penasaran kawanjo mengenai seperti apa rasa semua kudapan tersebut.
Sama hal nya dengan drakor Itaewon Class dan drakor-drakor lainnya, deret sajian seperti teeok-bokki, kimchi, Korean BBQ, sundubu jiggae, bungeoppang, mozarella corn dog, hotteok, eomuk, hingga ramen, seakan tak pernah gagal bikin kawanjo kepingin. Oleh karenanya, tiba-tiba Korea ramai dipadati turis dari seluruh dunia yang penasaran dengan cita rasa makanan asli mereka.
Tak cuma itu, detail mengenai kehidupan masyarakat asli Korea pun tak luput ditampilkan dalam film. Baju tradisional apa yang mereka gunakan saat ada festival adat (Hanbok), sendok dan sumpit seperti apa yang mereka gunakan sehari-hari, bahkan cara makan mie instan langsung dari dalam panci pun mulai diikuti oleh banyak pencinta drakor di Indonesia.
Apa yang bisa dipelajari dari sini? Bahwa film tak cuma menyenangkan untuk dilihat tapi juga memberi pengaruh sangat besar terhadap penontonnya. Di sini seharusnya industri pariwisata bisa masuk dan berperan untuk mengenalkan budaya asli Indonesia. Tak usah muluk melainkan sederhana saja. Semakin simpel, semakin mudah dicerna, semakin gampang untuk dipahami.
Kuncinya yaitu, coba bawa penonton untuk menikmati apa yang ada dalam visual. Zoom in asap masakannya, rekam proses memasaknya, dan expose bagaimana mereka menikmatinya. Lebih dari itu, menyisipkan informasi mengenai bahan makanan tersebut juga jadi nilai plus. Bawa penonton pada pengetahuan baru mengenai apa yang sedang ingin kita kenalkan.
Lepas dari urusan makanan, perihal budaya dan adat istiadat pun demikian. Buat film yang menunjukkan bagaimana dan kapan baju adat sebaiknya dikenakan, tata cara makan, nilai sopan santun, cara bersosialisasi dan lain sebagainya, adalah hal keseharian yang kerap sukes dipotret dalam drakor sehingga penonton seakan jadi sangat paham budaya Korea tanpa usah pernah ke sana atau secara khusus belajar mengenai tradisinya.
- Dari komik hitam putih, anime, hingga kehadiran Netflix
Beralih ke negeri Sakura, pada dasarnya industri film dan hiburan Jepang boleh dibilang jauh lebih dulu melakukan formula ini untuk mempromosikan negaranya. Dulu, balik ke tahun 90’an, hampir semua anak pernah sangat ketergantungan pada komik hitam putih Jepang terbitan Elex Media Komputindo ini. Mulai dari Doraemon, Kobo Chan, Kungfu Boy, dan lain sebagainya.
Tak cuma itu, adiksi akan produk Jepang berhasil merasuki anak-anak Indonesia yang setiap minggu pagi seakan tak pernah boleh ketinggalan kartun-kartun Jepang yang tayang di televisi swasta. Belum lagi kala sore tiba. Anak-anak & remaja juga tak boleh kelewat sederet tokusatsu (live action) seperti Satria Baja Hitam, Ultraman, dan lain sebagainya. Giliran malam menjelang, ada lagi dorama macam Oshin dan Rindu Rindu Aishawa yang selalu ditunggu ibu-ibu.
Baca juga: Inilah Keindahan Alam Mentawai yang Bisa Kamu Coba
Baik dalam komik, kartun, maupun dorama yang menggempur tiap aspek hiburan masyarakat Indonesia di tahun itu, warga Tanah Air jadi sangat tergila-gila dengan apapun yang berbau Jepang. Ingin tau lebih jauh mengenai makanan doraemon yaitu Dorayaki, ingin tahu rasanya tidur di dalam lemari atau langsung di atas lantai tanpa dipan, dan lain sebagainya.
Waktu itu juga banyak orang ingin pergi ke Jepang hanya untuk berfoto dengan Kimono layaknya Oshin dan menggunakan bakiak seperti di film-film Jepang. Kalau para remaja, biasanya ingin punya tas sekolah seperti anak-anak di sana. Ransel berbentuk kotak berbahan kaku atau tas tenteng seperti tas kantoran bapak-bapak berbahan dasar kulit dengan warna hitam atau cokelat.
Belum lagi urusan makanan. Dalam Anime berjudul Born to Cook yang diproduksi tahun 1986 – 1989, sebenarnya Jepang sudah sangat mencoba untuk mengenalkan ragam makanan tradisional mereka lengkap dengan bahan-bahan yang diperlukan dan proses memasak yang harus dilakukan. Ini pun berhasil bikin anak-anak pada masa itu ketagihan dan ingin mencobanya.
Lalu, film-film Ghibli dan deretan seri Netflix terbaru yang dibuat khusus untuk mempromosikan makanan Jepang seperti Midnight Diner, The Road to Red Restaurants List, Izakaya Botakuri, The Curry Songs, dan lain sebagainya. Semua dibuat untuk membuat para penonton di belahan dunia manapun tergiur dengan hidangan Jepang mulai dari sushi, sashimi, hingga udon dan ramen.
Hal-hal inilah yang membuat sebuah negara jadi punya daya tarik tersendiri yang bikin banyak orang ingin ke sana. Dari hal-hal sesederhana cita rasa yang tak ada di daerah asal para wisatawan hingga budaya materi seperti pakaian, kuil sembahyang, teko dan gelas keramik untuk teh hijau, dan lain sebagainya selalu punya alasan untuk dilihat langsung di tempatnya.
Menarik, kan? Bagaimana film baik anime, live action, dokumenter, hingga drama sekalipun bisa jadi magnet yang luar biasa untuk menarik turis datang ke Jepang. Tak cuma itu, bahkan orang di luar negara Jepang pun jadi begitu tertarik untuk belajar budaya Jepang hanya karena sering menonton film Jepang. Keren, ya!
“Certain movies have been noted to impact tourist trends. These movies were neither produced with such an intention nor aimed at increasing tourist influx. They were no marketing or tourist campaigns or advertisements for certain places or regions. Their screening, however, ‘incidentally’ induced a drastic change of tourist migrations to the sites screened“. -Gjorgievski & Trpkova
- Amerika dan segala daya tariknya: Eggo Waffle, New York Pizza, dan Industri film yang tak pernah mati
Terakhir, ada Amerika dengan segala daya tariknya. Negara dengan potensi pariwisata yang sesungguhnya terbilang minim karena tak punya budaya yang benar-benar khas dan tak punya pula kultur yang betul-betul bikin penasaran ini nampaknya tetap berhasil mendatangkan turis dari seluruh dunia. Industri pariwisatanya tetap berjalan meski tak ada sesuatu yang khas layaknya Eropa, Asia, bahkan Afrika. Kok bisa?
Yup, tentu bisa karena Amerika punya segalanya yang akan bikin siapa pun termasuk kawanjo merasa keren saat berada di sana. Negara ini bak pusat dunia. Setidaknya inilah kesan yang selalu mereka bentuk melalui industri hiburan mereka. Siapa yang tak ingin main ke New York lalu jalan-jalan santai di Rodeo Drive, Los Angeles, lalu main ke Time Square, Manhattan, hingga Brooklyn? Kalau ada budget dan kesempatan tentu kawanjo takkan menolaknya.
Kenapa bisa begitu? Karena lagi-lagi film punya peran besar dalam mendatangan wisatawan yang merasa tertarik untuk hadir di lokasi-lokasi syuting film Hollywood favorit mereka. Main ke Rockefeller Center karena film Home Alone 2, mampir ke Angel’s Knoll Park di mana film 500 Days of Summer direkam, hingga melipir ke apartemennya Carrie Bradshaw dalam seri Sex and the City.
Amerika pun jagonya menjual gimmick. Memasukkan brand tanpa tampak hard selling juga jadi salah satu keahlian mereka yang harus dipelajari. Melihat Eggo Waffle dalam film Stranger Things yang selalu di shoot tanpa harus di zoom dalam waktu lama hingga terasa kaku & dibuat-buat merupakan sebuah smart branding dalam film yang, sorry to say, belum bisa diwujudkan di Indonesia.
Tak cuma itu, melihat kebiasaan pagi mereka yang selalu bergegas ke kantor sambil membeli koran, meletakkan koin bayarannya, dan masuk ke toko kopi sambil langsung memesan tanpa melihat menu untuk kembali berjalan di tengah keramaian, juga jadi scene andalan dalam tiap film Amerika yang bikin kawanjo tentu ingin merasakannya juga.
Ditambah lagi scene sarapan khas keluarga Amerika yang di atas meja makannya selalu tersedia susu 1 jug besar, jus jeruk satu karton, sereal yang beraneka macam, dan roti berisikan peanut butter and jam, bak jadi hal yang ingin kita bahkan kawanjo lakukan saat sedang liburan ke Amerika, kan? Cari sarapan itu!
Eits, tunggu dulu. Belum lagi makanan-makanan pinggir jalan mereka seperti hot dog dan donat yang selalu tampak di film-film action, pizza super besar yang selalu dipesan oleh anak-anak muda saat berkumpul bersama, superjuicy burger berukuran besar, atau makanan lainnya yang tak kalah bikin penasaran.
Bagaimana dengan budayanya? Banyak turis yang khusus datang ke Amerika saat dekat dengan momen perayaan Natal, tahun baru, Halloween, Thanksgiving, Valentine, bahkan saat musim dingin hanya untuk merasakan apa yang biasa mereka saksikan di film-film Amerika. Pengalaman ini yang ingin kita rasakan saat tak hanya bisa lihat filmnya saja.
Ini yang bikin Amerika selalu jaya. Industri film mereka yang tak pernah mati bak selalu berhasil menampilkan spot-spot indah, kebiasaan hidup yang ‘Amerika banget’, hingga makanan-makanan yang layak coba. Selain itu, negara ini juga jadi salah satu tujuan bagi para kolektor yang senang hunting barang-barang langka dan unik. Amerika bak punya segalanya dan film lah yang bikin kita ingin hadir di sana.
Baca juga: Menparekraf Sandiaga Uno Ajak Pemimpin ASEAN Kerja Sama Gaet Turis
Jangan lupa pula bagaimana Disneyland, Disney Studio, Pixar, Universal Studio, dan Hollywood bisa tetap besar dan selalu jadi salah satu tujuan utama para wisatawan saat pelesiran ke Amerika. Semua karena industri film mereka amat sangat besar dan mengglobal! Maka tak muluk jika dikatakan industri film lah yang jadi salah satu faktor utama penyedot wisatawan datang ke Amerika.
- Sebuah PR bagi industri perfilman dan pariswisata Indonesia
Sudah panjang Pigijo menuliskan mengenai keterkaitan antara film dengan efek magnet wisatawan untuk datang ke sebuah tempat, kota, atau negara, sesungguhnya Indonesia punya kesempatan sangat besar untuk bisa seperti ini. Ada banyak adat istiadat yang bisa di capture, makanan yang beraneka macam, proses memasak ala tradisional yang tak banyak diketahui, dan kebiasaan sehari-hari yang menarik untuk ditampilkan.
Sebenarnya sudah ada beberapa film yang fokus akan hal ini. Tapi di beberapa sisi, film-film yang ada masih belum terlihat natural, terlalu kaku, tampak sangat diatur, dan tak sesuai keseharian. Masih ada paras rupawan yang harus diutamakan, tampilan sehari-hari yang kurang natural, dan percakapan yang masih belum mengalir seperti layaknya ngobrol sehari-hari. Kadang terlalu baku atau malah terlalu teatrikal sehingga terasa berat untuk dinikmati.
Ini yang rasanya masih bikin film Indonesia susah untuk bisa benar-benar mengenalkan kebudayaannya pada masyarakat internasional. Belum bisa secara sangat sederhana memotret kehidupan masyarakat asli tanpa banyak modifikasi. Mungkin salah satu yang paling berhasil adalah film Tilik yang meski pendek namun sangat membekas di hati penonton karena kealamiannya.
Meski demikian, tentu industri film dalam negeri bukan tak mencoba untuk merealisasikannya. Sejak lama sudah ada film-film yang mencoba untuk bisa memvisualisasi dan mengenalkan budaya Indonesia melalui makanan, pemandangan indah, dan lain sebagainya. Namun, ada banyak hal yang masih harus ditata.
Branding dalam film masih sangat terlihat hard selling dan jujur hal ini sangat mengganggu penonton terutama para penikmat film. Bukan saja tampak tak natural dan dibuat-buat, kadang perlakuan ini tak sesuai dengan lini masa yang sedang ditampilkan. Brand masa kini ada di dalam film tentang sejarah. Jelas dari sisi waktu kejadian sangat tak masuk di akal.
Lalu kadang, tampilan mengenai budaya sering kurang maksimal. Padahal, kadang inilah yang ingin ditonton dan diketahui oleh masyarakat lain di luar Indonesia. Tak usah muluk untuk membuat film rumit khusus dengan tema budaya atau pariwisata. Film-film sesederhana FTV di Jogja, drakor receh bertema keluarga seperti Reply 1988, hingga komik keseharian layaknya Kobo Chan, sangat bisa memotret kultur asli Indonesia.
Pigijo berharap banyak sineas muda yang bisa dan mau membuat film sederhana namun sangat Indonesia sehingga masyarakat asing merasa penasaran dan ingin datang ke sini. Jangan justru selalu membuat film yang kebarat-baratan melainkan keIndonesia-Indonesiaan. Sehingga industri pariwisata bisa berkembang, otomatis dikunjungi, dan banyak sektor yang diuntungkan terutama F&B, indusri rumah tangga, dan tempat wisata.
“the influence of film upon tourism not only because of its worldwide promotion, but particularly because of its economic impact” -Gjorgievski & Trpkova
Jadi, film yang baik tentu bukan hanya film yang bisa dinikmati untuk membuang stress semata melainkan juga film yang memberi banyak informasi mulai dari pengetahuan anyar tentang sesuatu yang berhubungan dengan budaya, kuliner, kehidupan sosial, dan tempat yang layak dikunjungi. Sehingga magnet pariwisata bisa terwujud dengan sendirinya.
Film ini bisa berbentuk macam-macam mulai dari animasi, drama, film pendek, atau dokumenter yang diracik secara matang namun dengan eksekusi sederhana yang kiranya mampu bikin penasaran dan membawa penonton masuk dalam tiap scene yang sedang ditonton. Ikut merasakan makanannya, berada di antara masyarakatnya, hingga berada di tempatnya meski sebatas imajinasi.
Ingin Indonesia dikenal seperti Korea, Jepang, bahkan Amerika? Yuk, mulai bikin film-film yang bisa menampilkan ke-Indonesiaan kawanjo. Natural, sesuai keseharian, dan perbincangan mengalir apa adanya. Pasti penerimaannya juga akan jadi lebih ringan dan mudah dinikmati sekaligus dicerna. Then all the love will follow.
destination in the mind of the consumer and at the same time promote and improve this image making a destination become a potential one (Bolan & Williams, 2008). Looking into a more psychological perspective, the mental image that the brain creates consists of a combination of knowledge about the environment that surrounds the individual who perceives the image, along with information about places outside the individual’s habitat (Araújo, 2012). This is simplified with the term “tourist destination image,” which is important when analysing the viewer’s perception of the destination (Araújo, 2012).
Andrea Zurdo Vara
-Andrea Zurdo Vara
0 comments on “Fakta Menarik Peran dan Efek Film Dalam Membangkitkan Ketertarikan Budaya dan Pariwisata”