Kabupaten Flores Timur bisa jadi rekomendasi wisata di Nusa Tenggara Timur (NTT). Selain Labuan Bajo ataupun pulau Komodo, ada banyak destinasi nge-trip yang bisa dikunjungi. Mulai dari wisata alam hingga kuliner. Ada juga yang mengeksplorasi budaya seperti di desa wisata. Kali ini Minjo mau ajak kamu eksplor daya tarik desa wisata Lewokluok, Flores Timur, NTT.
Desa wisata yang ada di NTT memang terdapat beberapa. Bahkan beberapa diantaranya menjadi primadona wisatawan. Tak heran pula bila ada yang meraih prestasi bergengsi. Yang terbaru ada desa wisata Wae Rebo, mendapatkan penghargaan kategori ASEAN Community Based Tourism Award pada gelaran ASEAN Tourism Forum 2023. Desa wisata di Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai, NTT ini sebelumnya meraih juara I Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) tahun 2021 kategori Daya Tarik Wisata.
Di tahun yang sama, satu desa yang juga bagian dari NTT meraih prestasi bergengsi pula. Ya, desa wisata Lewokluok di Flores Timur berhasil meraih peringkat 1 dalam ajang Anugerah Pesona Wisata Indonesia (API) Award 2021.
Baca Juga : Wisata di Nusa Penida Bali, The Real Healing Tempat Wisata
Desa Wisata Lewokluok Flores Timur
Bila desa Wae Rebo ada di Manggarai, desa wisata Lewokluok ada di Kecamatan Demon Pagong, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Desa ini terkenal dengan kampung adat, memiliki budaya yang terus dilestarikan meski berganti zaman. Lokasinya berjarak 25 KM dari Kota Larantuka, pusat ibu kota kabupaten Flores Timur.
Desa wisata Lewokluok di Flores Timur ini memiliki beragam daya tarik. Di antaranya memiliki adat istiadat, ritual, dan kesatuan masyarakat adat yang terus terpelihara hingga saat ini. Berkunjung ke sini akan memberikan pengalaman berkesan atas kebijaksanaan dalam kehidupan.
Daya Tarik Desa Wisata Lewokluok
Hingga kini, desa wisata Lewokluok menjadi salah satu destinasi wisata di NTT yang patut dipertimbangkan. Menjelajahi lokasinya sama dengan mendulang banyak pengetahuan dan hikmah kehidupan. Sebab masyarakatnya masih memegang teguh aturan budaya sekaligus tetap mengedepankan kualitas dalam menjamu tamu yang datang.
Baca juga: Nusa Tenggara Barat Siap Masukan 5 Destinasi Wisata ke Zona Hijau
Maka pantas saja bila makin hari makin banyak orang yang berkunjung. Daya tarik wisata desa Lewokluok Flores Timur NTT ini diantaranya:
- Ritual Budaya
Desa wisata Lewokluok memang unggul dengan beragam ritual budaya. Salah satunya adalah ritual perwujudan rasa syukur masyarakat atas kenikmatan yang diperoleh selama setahun. Berupa hasil kebun dan lainnya.
Ada juga ritual bersih-bersih kampung adat. Rumput serta pohon yang tumbuh di dalamnya, hanya dibersihkan sekali setahun.
Sebelum melaksanakan ritual, masyarakat menggelar upacara berupa Tawin Naman. Setelah selesai ritual pembersihan kampung adat, dilanjutkan dengan pengatapan bubungan rumah adat. Tujuh hari kemudian dilakukan ritual Tuhuk Lewon.
Kemudian keesokan harinya, warga menyembelih hewan dalam jumlah banyak. Tubuh hewan yang terbunuh kemudian digantung di rumah Koke Bale. Dalam waktu sehari semalam, warga akan menjaga dengan menarikan tari tradisional Lian Namang. Saat pagi hari hewan sembelihan tadi akan dimasak dan dimakan di Koke Bale serta diantar ke rumah-rumah warga.
Selain disebut sebelumnya, warga desa wisata Lewokluok juga masih mempertahankan tradisi lainnya. Seperti ritual memanggil hujan setelah panen dan sebelum menanam.
- Koke Bale
Ritual adat memang jadi bukti bagaimana masyarakat Lewokluok sangat menjaga tradisi. Selain itu ada juga Koke Bale, sebuah rumah adat yang digunakan sebagai tempat pertemuan para tetua adat, berkumpulnya warga, juga tempat peribadatan seperti kuil. Koke bale berada di tengah dan dikelilingi rumah-rumah adat semua suku di Kecamatan Demon Panggong.
Keberadaan Koke Bale menunjukkan kerukunan warga meskipun dari suku yang berbeda. Rumah pusat ini juga membuktikan bahwa masyarakat sangat menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi budaya peninggalan leluhur.
Baca juga: Potensi Wisata Ramah Muslim di Nusa Tenggara Barat Bisa Meraih Kesuksesan
- Kerajinan Tangan
Ritual kebudayaan memang menjadi sajian atraktif di kampung adat Lewokluok Flores Timur. Namun ada atraksi lain yang bisa dinikmati, yaitu aktivitas menenun ibu-ibu yang hampir ada di setiap rumah juga di sanggar tenun yang tersebar di setiap RT. Tenun khas desa wisata Lewokluok adalah jenis ikat dimana motifnya terus dilestarikan secara turun temurun.
Selain tenun, ada juga kerajinan khas desa wisata Lewokluok yang bisa dibeli untuk dijadikan oleh-oleh. Yaitu senui, baju adat bernuansa hitam dengan hiasan sulaman yang berbentuk huruf S berwarna kuning dan merah. Baju ini biasanya dikenakan saat ritual Koke Bale.
Selanjutnya ada juga topi anyam dari daun lontar berhias kain tenun dan kerang kecil. Terakhir adalah gelang tenun, yaitu aksesoris pergelangan tangan yang dianyam kemudian dilapisi kain tenun.
Jangan lupa mencicipi dan memborong produk kuliner olahan warga Lewokluok Flores Timur. Makanan khas ini adalah hasil perkebunan lokal seperti ubi, pisang, biji asam dan lain-lainnya. Kemudian kekayaan alam tersebut diolah menjadi camilan seperti keripik ubi dan lainnya.
- Potensi alam
Keindahan alam Nusa Tenggara Timur memang banyak yang memukau. Tak terkecuali dalam lingkup desa wisata Lewokluok Flores Timur. Terdapat hutan adat yang terjaga ekosistemnya, sumber mata air, embung buatan, serta pantai untuk berburu pemandangan senja yang indah.
Desa wisata Lewokluok di Flores Timur menjadi jajaran kampung adat yang mencerminkan keberagaman Nusantara. Namun, rasa persatuan yang bijak mengubah perbedaan menjadi hal yang indah. Maka layak kiranya bila memasukkan tempat ini dalam wishlist trip to NTT liburan mendatang!
Secara sosio-kultural, masyarakat Lewokluok terdiri atas suku-suku yang mendiami 3 desa utama, yakni desa Lewokluok, desa Bama dan desa Blepanawa. Sebelum terbentuknya pemerintahan desa gaya baru, Bama dan Blepanawa merupakan bagian dari Lewokluok sebagai kampung induk yang di sebut “Riang”. Penduduk di kedua Riang ini adalah orang-orang Lewokluok yang bermigrasi karena 2 alasan yang berkaitan erat dengan aspek kultural dan historis.
1. Secara kultural, masyarakat Lewokluok adalah masyarakat petani ladang yang secara turun temurun mengolah lahan pertanian untuk bercocok tanam secara berpindah-pindah mengikuti periode waktu tertentu; misalnya membuka kebun baru di suatu daerah garapan baru setiap 5 tahun atau 7 tahun sekali. Dengan demikian, sebagian penduduk Lewokluok yang yang bermukim di Bama dan Blepanawa pada mulanya, adalah mereka yang menggarap lahan untuk berladang di sekitar kedua Riang ini. Penggarapan lahan secara berkelanjutan dan permanen di kedua tempat ini akhirnya membentuk komunitas atau paguyuban baru, yang disebut Riang Bama dan Riang Blepanawa. Walaupun demikian, kiblat budaya dan adat istiadat tetap merujuk pada kampung induk Lewokluok. Apalagi rumah adat yang dikenal dengan nama Koke Bale, dipandang sebagai simbol pemersatu suku-suku yang mendiami ketiga desa itu berada di Lewokluok sebagai desa induk. Setiap tahun, masyarakat di ketiga desa ini mengadakan ritual adat yang disebut “Tekan Koke” (pesta rumah adat) tidak hanya untuk memaknai persatuan dan terbentuknya perkampungan adat Lewokluok tetapi juga untuk mengungkapkan rasa syukur dan mempersembahkan hasil panen kepada wujud tertinggi yang disebut “Lera Wulan, Tana Ekan. Selain itu dilakukan juga ritual pemberian sesajen kepada leluhur “Lewo tana” yang diyakini terus menjaga dan melindungi masyarakat Lewokluok dari segala petaka dan kemalangan.
2. Secara historis, terjadi perang antara masyarakat Lewokluok melawan Belanda pada awal 1900-san yang terkenal dengan Perang “Mula Wato”. Pemerintah Belanda yang berkedudukan di Keresidenan Larantuka, sekarang sebagai Ibukota Kabupaten Flores Timur, menjalankan politik bumi hangus dengan membakar perkampungan induk Lewokluok setelah seorang pemimpin pasukan menjadi korban (namun dirahasiakan., menurut ceritera tua adat). Perang yang diawali oleh penolakan rakyat Lewokluok untuk memberikan upeti kepada pemerintah kolonial Belanda telah menimbulkan banyak korban yang berjatuhan di pihak rakyat Lewokluok. Perlawanan rakyat dengan mengandalkan persenjataan seadanya jelas tidak mampu membendung tentara kolonial Belanda yang dilengkapi persenjataan moderen. Terdapat beberapa tokoh masyarakat yang ditangkap dan dibuang ke Nusa Kambangan, yg oleh orang-orang Lewokluok disebut “Nusakebanga”.
Setelah peristiwa berdarah ini, semua orang Lewokluok akhirnya pindah dan tinggal di Bama. Rumah adat Koke Bale, turut dibawa pindah ke Bama. Tetapi pada suatu masa, sebuah wabah penyakit melanda masyarakat secara masal yang mengakibatkan kematian begitu banyak orang. Masyarakat Lewokluok percaya bahwa wabah penyakit ini muncul akibat dipindahkannya rumah adat, Koke Bale, dari kampung induk di Lewokluok ke Riang Bama. Hal ini merupakan salah satu faktor yang mendorong keinginan masyarakat untuk kembali ke kampung induk. Faktor lain adalah, salah seorang tokoh masyarakat Lewokluok, namanya Kewisa Koten dari suku Kabelen yg dibuang ke Nusa Kambangan akhirnya dibebaskan oleh Belanda. Ketika pulang dia menemukan kenyataan bahwa tidak ada lagi kampung Lewokluok karena semua orang sudah pindah tinggal di Bama. Dia merasa sedih, apalagi mengetahui bahwa Koke Bale juga sudah dibawa pindah ke Bama. Atas upaya Sang tokoh ini, lewat permintaan ke raja Larantuka agar membawa pulang orang-orang Lewokluok ke kampung induk, Sang rajapun mengabulkan dengan syarat: (1) harus buka jalan raya masuk ke kampung Lewokluok, (2) tidak boleh semua orang kembali ke kampung induk. Diatur supaya yang kakak pulang ke Lewokluok tapi yang adik tetap tinggal di Bama.
Kisah di atas menggambarkan bagaimana terbentuknya masyarakat di ketiga desa itu, Lewokluok, Bama dan Blepanawa yang secara sosio-kultural dan historis terikat dalam satu kesatuan masyarakat yang tetap memegang teguh adat istiadat dan warisan budaya leluhur yang terus dipelihara. Salah satunya adalah Koke Bale dan ritual adatnya. Selain itu tradisi menenun yang menghasilkan sarung adat yang disebut “Kewatek” atau “Keriot” dengan ornamen motif setiap suku sama seperti motif yang terdapat pada tiang rumah adat Koke Bale. Kewatek atau Keriot ini diberi pernak-pernik yang disebut “Kinge” (terbuat dari sejenis kerang laut yang menempel pada batu karang). Keriot Kinge ini sangat unik karena tidak terdapat pada sarung-sarung adat suku Lamaholot lain selain Lewokluok. Sekarang, karena hubungan kawin mawin dengan masyarakat desa-desa lain maka Keriot Kinge dapat juga ditemukan di desa-desa tetangga dalam wilayah Kecamatan Demon Pagong. Selain Kewatek terdapat juga “Labu Senui “yang disulam dengan motif tertentu untu perempuan dan laki-laki. Sedangkan sarung laki-laki disebut “Senai ” atau “Nowin”.